Jumat, 13 November 2009

BAB I
PENDAHULUAN
K

abupaten Sigi merupakan salah satu Kabupaten termuda di Indonesia yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah dan baru terbentuk pada tahun 2008 silam. Kabupaten Sigi merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Induk, yaitu Kabupaten Donggala. Sebagai Kabupaten pemekaran yang baru dibentuk, Kabupaten Sigi dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan berupaya menjalankan setiap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
SIGI berasal dari kata “MASIGI”, karena konon riwayatnya dimana pada zaman dahulu di wilayah sebelah timur Desa Bora yang menjadi pusat permukiman penduduk pada saat itu, diketemukan sebuah masjid dengan 5 (lima) orang pegawai syarah yang dilengkapi dengan sebuah beduk dan sebuah khotbah yang ditulis dikulit kayu yang oleh masyarakat Sigi disebut “IVO”. Dari kejadian itu, maka orang-orang yang melihat masjid itu dari dekat menyebutnya “MASIGIMPU”, sedangkan mereka yang melihat dari kejauhan diatas bukit menyebutnya “MASIGIRA”, maka mulai saat itulah wilayah yang belum bernama ini oleh masyarakat lazim disebut wilayah “SIGIMPU” dengan masyarakatnya dijuluki sebagai “TOSIGIMPU”, sedangkan wilayah yang jauh dari tempat masjid itu oleh masyarakat disebut wilayah “SIGIRA” dengan masyarakatnya di sebut “TOSIGIRA”. Demikian julukan nama untuk wilayah ini, hingga sampai terbentuknya Kerajaan SIGI dan kemudian menjadi Kabupaten SIGI.
Salah satu Peraturan Pemerintah yang telah dijalankan adalah, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah dan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat. Penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Daerah Otonomi Daerah Kabupaten Sigi Tahun 2009 merupakan respon terhadap PP nomor 3 Tahun 2007 tersebut yang bertujuan untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, serta bagi pemerintah LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah.
A. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyampaian Laporan Keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah dan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat.
5. Peraturan Bupati Kabupaten Sigi Nomor 05 Tahun 2009 tentang Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sigi Tahun Anggaran 2009.
Secara singkat dapat diuraikan mengenai terbentuknya Kabupaten Sigi yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Induknya, yaitu Kabupaten Donggala yang secara yuridis formal dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1952. Setelah ditetapkan oleh pemerintah melalui UU Nomor 27 tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008, mulai awal tahun 2009 ditunjuk Pejabat Bupati Sigi yang dilantik di Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri untuk menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Sigi hingga terpilihnya Bupati definitive melalui proses Pemilihan Kepala Daerah.
B. GAMBARAN UMUM DAERAH

1. Kondisi Geografis
Berdasarkan sudut elevasinya, bahwa wilayah Kabupaten Sigi pada umumnya terletak didaerah dataran, perbukitan, pegunungan dan terletak pada ketinggian 200-700 meter diatas permukaan air laut. Ibu kota Kabupaten Sigi berkedudukan di Kecamatan Sigi Biromaru, sedangkan luas wilayahnya sekitar 5.196,2 KM². Kabupaten Sigi Berbatasan langsung dengan 4 Daerah Kabupaten/ Kota dan 2 Provinsi.
Batas-batas Wilayah tersebut terdiri dari :
a. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala, Kecamatan Palu Barat, Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, dan Kecamatan Parigi Selatan, Kecamatan Parigi Tengah, Kecamatan Torue, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong;
b. sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lore Utara,Kecamatan Lore Tengah dan Kecamatan Lore Selatan Kabupaten Poso;
c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat dan Kecamatan Rio Pakava, Kecamatan Pinembani Kabupaten Donggala.
Dari kondisi secara topografis, Kabupaten Sigi memiliki sebuah danau, yaitu Danau Lindu yang memiliki luas sekitar 3.357 Ha dan terletak sebelah selatan tepatnya di Kecamatan Lindu. Oleh masyarakat Kecamatan Lindu dan sekitarnya keberadaan danau tersebut sangat membantu dalam kegiatan perekonomian mereka, utamanya dalam hal irigasi persawahan/pertanian dan budidaya ikan air tawar. Selain dimanfaatkan sebagai kegiatan perekonomian, Danau Lindu ke depannya akan diproyeksikan sebagai salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Sigi pada khususnya maupun Provinsi Sulawesi Tengah pada umumnya dengan menyelenggarakan kegiatan Festival Danau Lindu.
Secara geografis daerah Kabupaten Sigi lebih dikenal dengan sebutan Lembah Sigi, sedangkan secara administratif, Pemerintahan Kabupaten Sigi terdiri dari 15 Kecamatan dan 156 Desa.
Berikut nama-nama Kecamatan di Kabupaten Sigi beserta jumlah desa masing-masing :

No. Nama Kecamatan Jumlah Desa
1. Sigi Biromaru 17
2. Palolo 19
3. Nokilalaki 5
4. Lindu 4
5. Kulawi 14
6. Kulawi Selatan 10
7. Pipikoro 13
8. Gumbasa 6
9. Dolo Selatan 11
10. Tanambulava 4
11. Dolo Barat 10
12. Dolo 11
13. Kinovaro 9
14. Marawola 11
15. Marawola Barat 10
Jumlah 156

Kecamatan Sigi Biromaru, Gumbasa, Tanambulava, Dolo, Dolo Selatan, Marawola, Palolo dan Kulawi adalah beberapa kecamatan yang infrastrukturnya sudah mulai tertata dengan baik sehingga dapat menunjang kegiatan pemerintahan dan pelayanan bagi masyarakat. Jenjang pendidikan penduduk termasuk salah satu yang terbaik dibandingkan dengan wilayah lain.

2. Gambaran Umum Demografis
Secara yuridis formal, Kabupaten Sigi yang terbentuk sejak tanggal 21 Juli 2008 melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008 terdiri dari 15 Kecamatan dan 156 Desa, sedangkan untuk Kelurahan sampai saat ini belum ada yang dibentuk. Untuk kedepannya Pemerintah Kabupatn Sigi merencanakan akan meningkatkan status sejumlah Desa menjadi Kelurahan, khususnya Desa-Desa yang menjadi Ibukota Kecamatan maupun yang masuk dalam wilayah Ibukota Kabupaten.
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah penduduk di wilayah Kabupaten Sigi ± 215.000 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,2%. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk tersebut menunjukan keadaan komposisi, distribusi dan kecepatan perubahan penduduk di suatu daerah. Pengidentifikasian tentang hal ini akan dapat membantu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan, khususnya mengenai penyediaan perumahan, pendidikan dan fasilitas lainnya yang secara keseluruhan mempengaruhi pola pemukiman penduduk dan struktur tata ruang daerah.
Komposisi penduduk bila dilihat dari jenis pekerjaannya sangat beragam mulai PNS, TNI/POLRI, karyawan swasta, pedagang, petani, penambang. Sedangkan bila menurut komposisi pendidikannya juga beragam, penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagian besar berpendidikan tamat SD. Hal ini dikarenakan massih terbatasnya infrastruktur yang menunjang program kegiatan belajar mengajar serta beberapa bangunan sekolah yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
Perkembangan jalan di Kabupaten Sigi pada umumnya masih dalam kondisi baik dan dapat di tempuh dengan menggunakan jalur dari dan ke Ibukota Kabupaten, serta ada kantong-kantong produksi yang masih perlu mendapat perhatian dari pemerintah provinsi untuk diadakan perbaikan.
Sarana telekomunikasi di Kabupaten Sigi sudah tersedia cukup lengkap, mulai dari Saluran Sambungan Tetap (SST) yang diselenggarakan oleh PT. Telkom dan beberapa operator telepon selular yang sudah mampu menjangkau sampai ke daerah pedesaan/pegunungan serta sarana pos dan giro yang sudah tersedia hingga ke beberapa Kecamatan.
Dalam hal infrastruktur kesehatan dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Tenaga Kesehatan :
 Dokter Umum : 10 orang
 Dokter Gigi : 3 orang
 Dokter Spesialis : -
 Perawat : 125 orang
 Bidan : 116 orang
b. Sarana Pelayanan Kesehatan :
 Rumah Sakit : -
 Puskesmas : 15 unit
 Puskesmas Pembantu : -
 Poliklinik KIA Puskesmas : 15 unit
 Polindes : -
 Posyandu : 321 unit

3. Kondisi Ekonomi
A. Potensi Unggulan Daerah
Menyangkut potensi wilayah Kabupaten Sigi, secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :



A.1 Sumber Daya Alam (SDA)
Dalam konteks SDA, yang dikembangkan adalah sumber daya hutan, Sumber daya alam di Kabupaten Sigi terdiri dari :
 Kawasan Lindung yang terdiri : Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Hutan Lindung.
 Kawasan Budi Daya yang terdiri : Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi yang dapat dikonservasi.
 Areal penggunaan lain.
Sumber daya perkebunan yang dikembangkan terdiri dari tanaman produktif seperti kakao, kelapa, cengkeh dan tanaman lainnya. Lahan pertanian di Kabupaten Sigi seluas ± 39.399 Ha. Komoditas peternakan yang dapat dikembangkan adalah : sapi dan kambing. Komoditas-komoditas tersebut di atas memberikan kontribusi yang besar bagi pembentukan PDRB di Kabupaten Sigi pada tahun-tahun yang akan datang, oleh karena itu pola perkembangan pertanian, peternakan maupun perkebunan yang diadopsi adalah pola yang berbudaya industri dengan orientasi pasar dalam rangka pengembangan industri yang berbasis sumber daya lokal.
Bahan tambang yang terkandung dalam kekayaan alam Kabupaten Sigi, antara lain berupa emas, sirtu, granit, andesit, dasit, basalt, lempung dan batu gamping. Dari beberapa bahan tambang yang tersedia tersebut, sebahagian kecil yang dimanfaatkan berupa galian C, sedangkan sebahagian besar masih merupakan potensi yang memerlukan promosi untuk menarik minat investor.
Selain SDA di Kabupaten Sigi terdapat potensi alam yang dapat dikembangkan untuk pembangunan, yaitu :
 Sungai yang dapat dipergunakan untuk sumber bersih, pembangkit listrik, irigasi dan perikanan. Sungai di wilayah Sigi yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber pasokan ke pembangkit listrik tenaga air adalah Sungai Gumbasa.
 Danau yang dapat digunakan untuk perikanan, objek wisata dan pembangkit listrik. Salah satu danau yang layak untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Sigi adalah Danau Lindu.

A.2 Sumber Daya Buatan
Sumber Daya Buatan yang dimaksud salah satunya adalah prasarana jalan kabupaten. Selain jalan, sumber daya buatan lainnya yang dapat dikembangkan adalah irigasi. Salah satu irigasi yang potensial adalah irigasi Sungai Gumbasa. Mencermati berbagai potensi yang tersedia di wilayah Kabupaten Sigi, maka ditetapkan 3 potensi andalan Kabupaten Sigi, yakni potensi ekonomi, potensi pariwisata dan potensi sumber daya alam lainnya. Potensi ekonomi Kabupaten Sigi berfokus pada pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Dalam hal ini, Kabupaten Sigi berupaya untuk :
 Meningkatkan produksi dan pemasaran padi, buah-buahan, sayuran, peternakan dan perikanan.
 Mengembangkan tanaman perkebunan terutama perkebunan rakyat yang menghasilkan komoditi ekspor.
Potensi pariwisata Kabupaten Sigi dikembangkan atas dasar beberapa dimensi antara lain pengembangan nilai budaya yang sudah ada dalam masyarakat, pengembangan nilai ekonomi masyarakat dan mempertahankan karakteristik dasar dari masyarakat serta nilai adat istiadat dan agama. Khusus untuk wisata alam, Kabupaten Sigi telah memiliki berbagai objek wisata yang cukup potensial untuk dikelolah secara lebih intensif antara lain Hutan Wisata Lore Lindu, Hutan wisata Kamarora, Air Terjun, Kolam Air Panas Bora serta beberapa objek wisata alam lainnya. Potensi sumber daya alam lainnya yang ada di Kabupaten Sigi adalah berupa bahan galian tambang serta hutan yang memerlukan pengelolaan yang lebih intensif dan terpadu.
B. Pertumbuhan Ekonomi/PDRB
Indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan program dan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Sigi dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), PDRB per Kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi yang dihasilkan. Jumlah PDRB dapt dihitung berdasarkan harga kini (current price) maupun berdasarkan harga konstan (constant price). Adapun PDRB Kabupaten Sigi masih merujuk dari Kabupaten Donggala sebagai kabupaten induk dan diperoleh laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,13%. Dikatakan masih merujuk dari kabupaten induk, dikarenakan belum terdapat lembaga statistik atau BPS untuk Kabupaten Sigi, juga dikarenakan perintahan yang belum berusia setahun sehingga instansi pemerintah daerah yang berkompeten dalam bidang tersebut masih memfokuskan program dan kegiatan pada tahun 2010.

4. Pelaksanaan Penetapan Batas Tetap Wilayah
Pemerintah Kabupaten Sigi akan membentuk Tim Penegasan Batas Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Realisasi pelaksanaan penetapan batas-batas wilayah di Kabupaten Sigi masih berkoordinasi dengan Kabupaten Donggala sebagai kabupaten induk sebagaimana sebelum dimekarkan sebagai daerah otonom baru.





BAB II
PENYUSUNAN PERANGKAT
DAERAH

A. DINAS, BADAN DAN ATAU KANTOR YANG DIBENTUK

B
erdasarkan Peraturan Bupati Sigi Nomor 1 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Peraturan Bupati Sigi Nomor 2 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah dan Peraturan Bupati Sigi Nomor 3 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah, maka dapat diuraikan nama-nama Dinas, Badan dan Kantor yang telah dibentuk oleh pemerintah Kabupaten Sigi sebagai berikut :
I. Sekretariat Daerah Kabupaten Sigi
1. Sekretaris Daerah;
2. Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra;
3. Asisten Bidang Administrasi Umum;
4. Bagian Tata Pemerintahan;
5. Bagian Kesejahteraan Sosial;
6. Bagian Perekonomian dan Pembangunan;
7. Bagian Hukum dan Organisasi;
8. Bagian Humas dan Protokol;
9. Bagian Kepegawaian;
10. Bagian Umum dan Perlengkapan.



II. Dinas, Badan dan Kantor
1. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga;
2. Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi;
3. Dinas Pertanian dan Kehutanan;
4. Dinas Kesehatan;
5. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah;
6. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika;
7. Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
8. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah;
9. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
10. Inspektorat Daerah;
11. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa;
12. Kantor Lingkungan Hidup;
13. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat;
14. Satuan Polisi Pamong Praja;
15. Bagian Tata Pemerintahan;
16. Bagian Kesejahteraan Sosial;
17. Bagian Perekonomian dan Pembangunan;
18. Bagian Hukum dan Organisasi;
19. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol;
20. Bagian Kepegawaian;
21. Bagian Perlengkapan dan Umum.

III. Sekretariat DPRD
1. Sekretaris Dewan;
2. Bagian Persidangan dan Risalah;
3. Bagian Umum dan Keuangan.

B. PENYEDIAAN SERTA KONDISI SARANA DAN PRASARANA PEMERINTAHAN YANG DIGUNAKAN

Sampai dengan saat ini sarana dan prasarana yang digunakan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di Kabupaten Sigi masih menggunakan kantor-kantor serta gedung-gedung milik pemerintah provinsi serta instansi-instansi vertikal yang berada di wilayah Kabupaten Sigi. Untuk Kantor Bupati Sigi sementara ini masih meminjam gedung Balai Pertanian demikinan juga untuk ruangan Sekretaris Daerah, Asisten-Asisten serta Kabag-Kabag masih dalam 1 lingkungan dengan kantor Bupati.
Gedung DPRD Kabupaten Sigi untuk sementara akan menggunakan balai diklat pertanian milik pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Dikarenakan masih menempati sebagian kantor atau gedung milik pemerintah provinsi maupun kabupaten induk, kondisi kantor-kantor tersebut sudah dalam usia yang tua namun masih layak untuk digunakan. Kondisi yang terbatas tersebut tidak menjadi hambatan dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.

C. PENGISIAN KEPEGAWAIAN

Bagian Kepegawaian Sekretariat Kabupaten Sigi yang bertugas menangani urusan kepegawaian menginformasikan jumlah PNS Kabupaten Sigi, baik yang berasal dari wilayah Sigi serta PNS dari daerah lain yang mengajukan pindah ke Kabupaten Sigi hingga saat ini tercatat mencapai 4.503 orang.




Berikut data yang mengenai jumlah PNS Kabupaten Sigi menurut eselon serta tingkat pendidikannya:
N
o Jabatan Jumlah PNS Menurut Pangkat/Golongan Pendidikan
III/a III/b III/c III/d IV/a IV/b IV/c IV/d SLTA Diploma S1 S2 S3
1 Eselon I - - - - - - - - - - - - -
2 Eselon II - - - - 3 6 7 - - - 10 4 -
3 Eselon III - - 12 57 19 2 - - 5 7 64 15 -
4 Eselon IV 29 84 37 - - - - - 90 16 114 12 -
Jumlah 29 82 96 94 22 8 7 - 95 23 188 31 -

D. PEMINDAHAN DOKUMENTASI

Dalam hal Pengalihan, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen dari Daerah Induk (P3D) telah dilakukan beberapa waktu lalu dihadapan Gubernur Sulawesi Tengah dan hingga saat ini masi berlangsung proses pengalihannya secara bertahap.













BAB III
SEKRETARIAT DPRD
SUDAH TERBENTUK

S
ampai dengan penyelesaian penyusunan LPPD Daerah Otonomi Baru belum terbentuk DPRD Kabupaten Sigi karena pada pelaksanaan Pemilu Legislatif, Wliayah Lembah Sigi (calon Kabupaten Sigi) masih bergabung dengan Kabupaten Donggala. Selanjutnya Pembentukan DPRD Kabupaten Sigi telah dikonsultasikan dengan KPU Donggala dan hasilnya menunggu keputusan dari KPU Pusat tentang pembagian anggota DPRD Donggala dan DPRD Sigi.
Menindak lanjuti Rencana Pembentukan DPRD Kabupaten Sigi yang akan dilaksanakan pada bulan November 2009, Pemerintah Kabupaten Sigi telah membentuk Lembaga Sekretariat Dewan Sigi melelui surat Bupati Sigi Nomor 01 Tahun 2009 tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Sigi. Pengisian jabatan Sekretaris DPRD telah dilaksanakan dengan surat Keputusan Kabupaten Sigi Nomor: 821.22/0127/B-Sigi/2009 Tanggal 9 Oktober 2009 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural.










BAB IV
PENYELENGGARAAN
URUSAN PEMERINTAHAN

A. PRIOROTAS URUSAN WAJIB YANG DILAKSANAKAN
B

erdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 11 ayat (3), urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Adapun urusan wajib yang didelegasikan ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Sigi, yaitu :
1. Bidang Urusan : Pendidikan
2. Bidang Urusan : Kesehatan
3. Bidang Urusan : Pekerjaan Umum
4. Bidang Urusan : Perumahan
5. Bidang Urusan : Penataan Ruang
6. Bidang Urusan : Perencanaan Pembangunan
7. Bidang Urusan : Perhubungan
8. Bidang Urusan : Lingkungan Hidup
9. Bidang Urusan : Pertanahan
10. Bidang Urusan : Kependudukan dan Catatan Sipil
11. Bidang Urusan : Pemberdayaan Perempuan
12. Bidang Urusan : Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
13. Bidang Urusan : Sosial
14. Bidang Urusan : Tenaga Kerja
15. Bidang Urusan : Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
16. Bidang Urusan : Penanaman Modal
17. Bidang Urusan : Kebudayaan

18. Bidang Urusan : Pemuda dan Olahraga
19. Bidang Urusan : Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
20. Bidang Urusan : Pemerintahan Umum
21. Bidang Urusan : Kepegawaian
22. Bidang Urusan : Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
23. Bidang Urusan : Statistik
24. Bidang Urusan : Kearsipan
25. Bidang Urusan : Komunikasi dan Informatika
I. Satuan Kerja Perangkat Daerah Penyelenggara Urusan Wajib
1. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga;
2. Dinas Kesehatan;
3. Kantor Lingkungan Hidup;
4. Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi;
5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
6. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah;
7. Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
8. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa;
9. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika;
10. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat;
11. Bagian Tata Pemerintahan
12. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah;
13. Bagian Kepegawaian;
14. Bagian Kesejahteraan Sosial.




II. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan, Jumlah
Pejabat Struktural dan Fungsional.
1. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 18 orang
 Fungsional = - orang
 Staf = 35 orang
Jumlah = 59 orang
2. Dinas Kesehatan
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 15 orang
 Fungsional = - orang
 Staf = 28 orang
Jumlah = 48 orang
3. Kantor Lingkungan Hidup
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 2 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 4 orang
Jumlah = 10 orang



4. Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 19 orang
 Staf = 39 orang
Jumlah = 64 orang

5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 6 orang
Eselon IV = 18 orang
 Staf = 1 orang
 Honorer = - orang
Jumlah = 26 orang

6. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 12 orang
 Staf = 8 orang
Jumlah = 25 orang






7. Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 17 orang
 Staf = 16 orang
Jumlah = 39 orang

8. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 12 orang
 Staf = 10 orang
Jumlah = 27 orang

9. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 13 orang
 Staf = 19 orang
Jumlah = 37 orang






10. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 6 orang
 Staf = 4 orang
Jumlah = 11 orang


11. Bagian Tata Pemerintahan
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 8 orang
Jumlah = 13 orang


12. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 16 orang
 Staf = 36 orang
Jumlah = 58 orang







13. Bagian Kepegawaian
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 4 orang
Jumlah = 9 orang


14. Bagian Kesejahteraan Sosial
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 1 orang
Jumlah = 6 orang

15. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sigi
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 5 orang
Jumlah = 10 orang







16. Bagian Umum
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 10 orang
Jumlah = 15 orang

17. Bagian Perekonomian dan Pembangunan
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 4 orang
Jumlah = 9 orang

18. Satuan Hukum dan Organisasi
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 7 orang
Jumlah = 12 orang





19. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = - orang
Eselon III = 1 orang
Eselon IV = 4 orang
 Staf = 6 orang
Jumlah = 11 orang

B. PRIORITAS URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN

Adapun urusan pilihan yang didelegasikan ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Sigi, yaitu :
1. Bidang Urusan : Pertanian
2. Bidang Urusan : Kehutanan
3. Bidang Urusan : Energi dan Sumberdaya Mineral
4. Bidang Urusan : Pariwisata
5. Bidang Urusan : Kelautan dan Perikanan
6. Bidang Urusan : Perdagangan
7. Bidang Urusan : Perindustrian
8. Bidang Urusan : Transmigrasi
I. Satuan Kerja Perangkat Daerah Penyelenggara Urusan Pilihan
1. Dinas Pertanian dan Kehutanan;
2. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah;
3. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika
4. Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.


II. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan, Jumlah
Pejabat Struktural dan Fungsional
1. Dinas Pertanian dan Kehutanan
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 19 orang
 Staf = 22 orang
Jumlah = 47 orang

2. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 12 orang
 Staf = 9 orang
Jumlah = 25 orang

3. Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 5 orang
Eselon IV = 17 orang
 Staf = 16 orang
Jumlah = 39 orang




4. Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Berdasarkan Jabatan :
 Struktural Eselon II = 1 orang
Eselon III = 4 orang
Eselon IV = 13 orang
 Staf = 19 orang
Jumlah = 37 orang
DEKONSTRUKSI

1. LATAR BELAKANG
Seiring pergerakan waktu, pergerakan pendulum dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mengalami berbagai bentuk evolusi. Sebagaimana yang telah ditelaah secara menyeluruh, ilmu pengetahuan sendiri merupakan sebuah akumulasi fakta, teori dan metode yang dihimpun oleh para tokoh tertentu sebagai pencetus ilmu tersebut dalam suatu metode tertentu (Norberg-Schulz, 1984). Demikian pula dalam bidang arsitektur, Lloyd & Scott (1997) menyebutkan bahwa perkembangan arsitektur sejalan dengan kebudayaan manusia baik pola pikir maupun pola hidupnya.
Dalam perkembangan arsitektur pada era post-modern, terdapat beberapa kelompok pemikiran. Seperti yang disebutkan oleh Sugiharto (1996), ada satu kelompok yang lebih memfokuskan pada pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan persoalan linguistik. Pemikiran dari kelompok ini cenderung hendak mengatasi sebuah gambaran dunia modern melalui gagasan yang sama sekali anti gambaran dunia. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah ’’dekonstruksi’’.

2 DEKONSTRUKSI DALAM ARSITEKTUR
Dekonstruksi sendiri adalah sebuah konsep filosofi Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis, yang dalam aplikasi terapannya tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman yang baku mengenai konstruksi, destruksi, dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing –masing. Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutkannya dalam merajut rangkaian hubungan – hubungan keterkaitan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat memperjelas korelasi antara dekonstruksi dengan arsitektur.
Diskontinuitas serta putusnya linearitas menghadirkan permainan dalam setiap komposisi karena apa yang digagas dan dibangun tidaklah berdiri sendiri (Adorno, 1997). Gagasan yang dituangkan dalam komponen komposisi yang sebenarnya dikutip dari rujukan di tempat lain. Bentuk atau rupa material – konstruksi - lokasi. Jadi tidak pernah komponen komposisi berdiri sendiri yang lahir dan tercipta dari ruang hampa. Differance mengangkat permasalahan komposisi yang terdiri atas “citatioans” atau kutipan – kutipan ke dalam suatu komposisi. Dengan komposisi sebenarnya orang melihat dan merasakan suatu representsi pentunjuk yang hadir dengan rujukan yang tidak hadir (entah di mana). Komposisi ini memberikan suatu gambaran fragmen – fragmen dari sumbernya yang “meng-ada” di suatu lokasi dan tampil seolah – olah utuh dan stabil sebagai sosok mandiri. Rujukan gagasan bentuk atau rupa misalnya, tidak pernah lepas dari keinginan untuk memenuhi “kebutuhan” manusia.
Atas dasar merujuk pada sumber – sumber tidak hadir itulah sebuah komposisi “meng-ada”. Dengan itu pula apa yang hadir sebenarnya memberikan “jejak” kepada sumber – sembernya. Interpretasi komposisi menurut prinsip differance tidak mungkin dilakukan tanpa membaca atau menelusuri jejak – jejak yang hadir ke dalam sumber mereka. Hasil dari komposisi yang lahir dengan hadirnya jejak – jejak tersebut oleh Derrida dalam Adorno (1997) disebut dissemination.
Dalam aspek kajian fenomenologi, dekonstruksi dipandang sebagai upaya atau metoda kritis, tidak hanya berupaya merombak dan menstrukturkan kembali berbagai bangunan teori atau karya - karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun konteksnya. Lebih dari itu, kekuatan – kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan: dilucuti segala macam atributnya, dikupas habis, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari keterkaitannya dengan konsep – konsep lain, digelar kemungkinan – kemungkinan posisi maupun kontribusinya terhadap segala hal. Semua proses tersebut dimaksudkan untuk membangun kembali karakteristik fenomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut, ekspose dari ‘interplay’ kekuatan – kekuatan melalui kontradiksi – kontradiksi, kesenjangan – kesenjangan, decomposition, disjunction, discontinuity, dan deformation, merupakan cara untuk memperlihatkan kemungkinan – kemungkinan “ada” dan “mengada”.
Arsitektur dekonstruksi merupakan pengembangan dari arsitektur modern. Munculnya arsitektur dekonstruksi sekitar tahun 1988 dalam sebuah diskusi Academy Forum di Tate Gallery, London. Kemudian disusul oleh pameran di Museum of Art, New York dengan tema “Deconstructivist Archiecture” yang diorganisir oleh Philip Johnson dan terdapat tujuh arsitek yang menampilkan karya-karyanya, yaitu; Peter Esienman, Bernard Tschumi, Daneil Libeskind, Frank Gerhy, Zaha Hadid, Rem Koolhaas, dan Coop Himmelblau. Gejala “Dekon” dalam arsitektur telah menjadi tema perdebatan yang hangat dengan karya-karyanya yang mendobrak aturan-aturan yang berlaku.
Pada 8 April 1988 dalam “international Symposium on Deconstruction” yang diselenggarakan oleh Academy Group di Tate Gallery, dikukuhkan bahwa dekonstruksi bukanlah gerakan yang tunggal atau koheren, meski banyak diwarnai oleh kemiripan – kemiripan formal di antara karya arsitek yang satu dengan yang lainnya. Dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk membongkar kemapaman dan kebakuan.
Aliran dekonstruksi mulanya berkembang di kalangan arsitek Perancis dan Inggris, kemudian oleh Philip Johnson dan Mark Wigley melalui sebuah pameran yang bertema deconstructivist Architecture” yang di selenggarakan di Museum of Art, New York, tanggal 23 Juni – 30 Agustus 1988 mencetuskan ‘dekonstruktivisme’ yang lebih berkonotasi pragmatis dan formal serta berkembang di Amerika. Telaah dan pemahaman dekonstruksi memerlukan suatu kesiapan untuk belajar menerima beberapa kemungkinan phenomena. Syarat dari semua ini berdiri di atas keterbukaan dan kesabaran. Keterbukaan membiarkan phenomena berbicara langsung tanpa prekonseosi. Kesabaran memberikan ruang kepada orang untuk mendengar lebih cermat dan seksama.
Deconstruction sebuah konsep Perancis yang diturunkan oleh Jacques Derrida ( lahir 1921) tidak mudah disampaikan sebagaimana pemahaman orang tentang konstruksi, destruksi, dan rekonstruksi. Derrida mengajak semua orang termasuk arsitek untuk merenungkan kembali hakekat sesuatu karya agar berbicara menurut pesona dan kapasitasnya masing –masing. Keseluruhan ini berangkat dari suatu metoda komposisi. Derrida menyebutkannya dalam merajut rangkaian hubungan – hubungan. Dalam tekniknya terdapat beberapa teknik dan terminologi yang perlu klarifikasi di sini. Usaha demikian diharapkan dapat memperjelas hubungan Deconstruction dan Rancang bangunan.
Konsep utama memproduksi atau mengadakan karya bertolak dari konsep yang oleh Derrida pada kasus literatur disebut differance. Dalam rancang bangun konsep ini tidak dapat dipahami sebagai suatu pendekatan yang membuka pemikiran bahwa karya bukanlah semata – mata representasi yang direduksi sebagai alat menyampaikan gagasan atau pesan. Merancang karya diharapkan memberi peluang agar kemungkinannya berbicara bisa merdeka dari prinsip dominasi. Differance memahami setiap komponen bahkan elemen dari komposisi sebagai suatu potensi yang tidak terpisahkan keberadaan, peran dan fungsinya dalam kesemestaan. Artinya mereka tidak hanya sebagai suatu alat untuk menunjuk pada sesuatu gagasan atau ingatan atau nilai tertentu. Diferance memberikan pemahaman baru bagaimana melihat elemen rancangan rancang bangun dalam sebagai batas – batas wilayah yang mengkaitkan : manusia-material-konstruksi-rupa/bentuk dan tempat. Rancang bangunan sebagai suatu keutuhan dan aspek – aspeknya adalah jejak – jejak dari suatu kesemestaan yang mampu berbicara sendiri sebagai pembangun pemahaman dunia. Seperti halnya suatu ‘text’ rancang bangunan marupakan suatu komposisi yang berosilasi di antara hadir dan absen. Dengan osilasi tersebut terjalin suatu yang terputus – putus sebagaimana pemahaman kita sebenarnya akan dunia ini.
Diskontinuitas dan putusnya linearitas menghadirkan permainan dalam setiap komposisi karena apa yang digagas dan dibangun tidaklah berdiri sendiri. Gagasan yang dituangkan dalam komponen komposisi yang sebenarnya dikutip dari rujukan di tempat lain. Bentuk/rupa material-konstruksi-lokasi. Jadi tidak pernah komponen komposisi berdiri sendiri yang lahir dan tercipta dari ruang hampa. Differance mengangkat permasalahan komposisi yang terdiri atas “ citatioans” atau kutipan – kutipan ke dalam suatu komposisi. Dengan komposisi sebenarnya orang melihat dan merasakan suatu representsi petunjuk yang hadir dengan rujukan yang tidak hadir ( entah di mana ). Komposisi ini memberikan suatu gambaran fragmen – fragmen dari sumbernya yang “mengada” di suatu lokasi dan tampil seolah – olah utuh dan stabil sebagai sosok mandiri. Rujukan gagasan bentuk/rupa misalnya, tidak pernah lepas dari keinginan untuk melayani “kebutuhan” manusia. Atas dasar merujuk pada sumber – sumber tidak hadir itulah sebuah komposisi “meng-ada”. Dengan itu pula apa yang hadir sebenarnya memberikan “jejak” kepada sumber – sembernya. Interprestasi komposisi menurut prinsip differance tidak mungkin dilakukan tanpa membaca atau menelusuru jejak – jejak yang hadir ke sumber – sumber mereka. Hasil dari komposisi yang lahir dengan hadirnya jejak – jejak tersebut oleh Derrida disebut Dissemination.
Deconstruction sebagai upaya atau metoda kritis, tidak hanya berupaya membongkar bangun – bangun teori atau karya lewat elemen, struktur, infrastruktur maupun contextnya. Lebih dari itu, kekuatan – kekuatan yang berperan pada konsep yang bersangkutan akan: dilucuti atribut – atributnya, dikupas habis hingga telanjang bulat, dilacak asal usul dan perkembangannya, dicari kaitan – kaitannya dengan konsep – konsep lain, digelar kemungkinan – kemungkinan posisi maupun kontribusinya terhadap apa saja. Semua proses pembongkaran tersebut dimaksudkan untuk membangun kembali karakteristik phenomenalnya. Dalam pembangunan kembali tersebut, ekspose dari ‘interplay’ kekuatan – kekuatan melalui : kontradiksi – kontradiksi, kesenjangan – kesenjangan, decomposition, disjunction, discontinuity, dan deformation, merupakan cara untuk memperlihatkan kemungkinan – kemungkinan “ada” dan “mengada”. Daya tarik deconstruction bagi dunia rancang bangun terletak di dalam cara melihatnya bahwa ruang dan bentuk adalah tempat kejadian yang selayaknya terbuka bagi yang mungkin dan yang tidak mungkin.
Derrida secara jelas menolak gagasan bahwa penerapan deconstruction akan menjadi semacam “aliran” atau “langgam” baru pada seni bangunan. Tetapi pada kenyataannya adalah tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang disebut arsitektur dekonstruksi akan memberikan dan membawa arsitek kepada arah dan gerakan yang baru












Tokoh Arsitek :
1. Jacques Derrida
Post structuralism dianalogikan dengan suatu teks atau bahasa. Sebuah kata terstruktur menjadi sebuah bahasa yang dapat membentuk sebuah interpretasi/penafsiran. Pada pengertian ini, Jacques terpengaruh oleh tokoh pendapat Ferdinand de Saussure,
“that meaning was to be found within the structure of a whole language rather than in the analysis of individual words.”

Jacques juga berpendapat bahwa kita tidak bisa mendapatkan akhir dari penafsiran sebuah kalimat-sebuah kebenaran, karena semua kalimat memiliki banyak arti dan berbeda-beda. Tetapi ada sebuah kemugkinan tentang penafsiran yang berlawanan dan tidak ada suatu jalan yang tidak tertafsirkan untuk menjelaskan keberadaan penafsiran yang berlawanan ini. Jacques mengembangkan paham dekonstruksi untuk uncovering interpretasi/penafsiran teks yang beragam. Semua kalimat memiliki ambiguitas sehingga untuk mendapatkan final interpretation adalah sesuatu yang mustahil.
• Post structuralism : Deconstruction
• Filosofis panutan : Plato, FreudRousseau, Saussure
Sebagai sebuah konsep, Dekonstruksi adalah semangat. Gagasan Derrida adalah ide untuk melakukan perlawanan untuk selamanya. Ia bersifat anti-kemapanan. Itu artinya, ia juga tidak mencari sebuah kemapanan baru. Sebagai sebuah energi, Dekonstruksi berkehendak melenting bebas tidak beraturan. Ia bukan logos, jadi jangan jadikan sebuah konstruksi.
Benar bahwa Dekonstruksi Derrida telah diadopsi dalam arts. Dalam seni instalasi, dalam politik, juga dalam arsitektur. Namun demikian, Dekonstruksi bukanlah sebuah logos, ia bukanlah sebuah pakem. Melainkan, sebuah dorongan untuk memberontak.
Aku ingin menggunakan analogi bangunan rumah: Dalam rangka bangunan pasti ada beberapa sambungan, misalnya saja di atap. Nah, dekonstruksi adalah upaya untuk mengupas plester-plester atau plafonnya, kemudian kita mengamati dengan teliti setiap sambungan rangka bangunan hingga kita menemukan kesalahan-kesalahan di setiap sambungan. Itulah dekonstruksi; menunjukkan kesalahan. Dengan terus-menerus. Mencari sebuah kesadaran, kritis, dan wataknya ; membangunkan! Tetapi tidak akan pernah mencapai konstruksi baru, dan tidak akan pernah selesai.

2. Bernard Tschumi
• Dekonstruksi merupakan Analisis (dari tanpa menjadi apa)
• Architecture of events : tak ada arsitektur tanpa events, tanpa action, tanpa activity, tanpa function; arsitektur harus terlihat sebagai kombinasi ruang, events dan pergerakan, tanpa hirarki atau preseden apapun diantara ketiganya
• Arsitektur menggabungkannya dalam kombinasi preseden programatik :
1. Crossprogramming : penerapan suatu program pada suatu konfigurasi ruang yang tidak semestinya, misal : kafe untuk sinema.
2. Transprogramming : mengkombinasikan 2 program kegiatan tanpa memperdulikan ketidaksesuaian, misal : perpustakaan dan sinema
3. Disprogramming : mengkombinasikan 2 program sehingga konfigurasi spasial program A mengkontaminasi program dan konfigurasi spasial program B; misal : program sinema untuk fasilitas komersial.

3. Coop Himelb(l)au
• Prosedur kerja : menerpkan teori “generative power of language” (pemahahaman yang diambil dari Jacques).
• Penerapannya : Kedua memulai proses rancangan dengan ‘obrolan yang berkepanjangan’ yang disertai dengan coretan terus menerus sampai tindakan komunikatif tertentu mereka berhenti dan sketsa (coretan) dihasilkan.

4. Eisenman
• Gianni Vattimo was talking about, with weak forms, la forma debole, which means that image is not so important but ideas are.
• What I'm trying to do is to express ideas in my work, so that when people experience the work they say 'why is it like this?'
(Pendapat eisenmen)
• contoh :
1. Dianalogikan seperti sebuah film. Pada umumnya orang film menonjolkan sisi visual tetapi eisenmen berpendapat bahwa menikmati sebuah film tidak hanya menggunakan visual saja. Sehingga einsmen menganalisis bahwa sebuah film seharusnya juga dinikmati melalui indra lainnya dengan porsi yang lebih besar daripada indra visual.
2. Analogi seperti sebuah ruang. Eismen ingin membuat sebuah ruang dengan pemikiran ”dari tanpa menjadi ada”.

KONTEKSTUALISME
1. LATAR BELAKANG
• KONTEKSTUALISME muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur modern yang antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memperhatikan kondisi bangunan lama di sekitarnya.
• KONTEKSTUALISME selalu berhubungan dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik, sehingga menghasilkan sebuah kontinuitas visual.

2. DEFINISI
• Brent C Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan, kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.
• Kontekstualisme bukan meniru bangunan lama !
• Bagaimana penerapan kontekstualisme dalam sebuah bentuk desain arsitektur?

3. KARAKTERISTIK DISAIN
• Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak “Lihatlah Aku!” tetapi bahkan cenderung menjadi suatu bangunan yang bersifat latar belakang.
Contoh bangunan :









Gambar Bangunan Karya IM Pei
• Teknik mendisain dengan faham Kontekstualisme dapat dikembangkan untuk dapat memberikan jawaban khususnya untuk kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, dan pragmatis menjadi bersifat pluralistik dan fleksibel.
• Selain itu juga bukan dogmatis rasional atau terlalu berorientasi pada kaidah-kaidah yang terlalu universal.

4. KRITERIA KONTEKSTUALISME
a) Fit (pas) pada lingkungannya
b) Merespons lingkungannya
c) Menjadi perantara bagi lingkungannya
d) Mungkin melengkapi pola implisit dari lay-out jalan atau memperkenalkan sesuatu yang baru

5. BEBERAPA VARIASI PENDEKATAN DESAIN ARSITEKTUR KONTEKSTUAL
a. Mengambil motif-motif desain setempat : bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain.
• Salah satu contoh pendekatan ini adalah rumah-rumah di Ponte Vecchio, Florence, Italia.
• Rumah-rumah tersebut merupakan bangunan baru yang mengadaptasi gaya Renaisans yang ingin menggantikan bangunan lama yang hancur saat Perang Dunia II.
• Kontinuitas visual terlihat dari bentuk massa dan irama bukaan atau jendela.







Gambar Ponte Vecchio, Florence, Italia

b. Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda.
• Hal ini dapat terlihat dari desain bangunan Butterfield House di Kota New York.
• Keterkaitan visual bangunan apartemen tersebut dengan bangunan di sekitarnya dapat dilihat dari penggunaan elemen balkon, namun sudah dengan penyelesaian desain berbeda. Bangunan lama mempunyai bentuk bukaan yang datar pada balkon, sedangkan pada Butterfield House, bentuk bukaan pada balkon terlihat melengkung dan menonjol ke luar. Walaupun terdapat perbedaan desain pada balkon, kedua bangunan tetap terlihat menyatu karena memiliki bentuk dasar atau pola yang sama.







Gamba Butterfield House, NY
c. Melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama.
• Contoh pendekatan ini adalah New Housing di Zwolle, Belanda.
• Pencarian bentuk-bentuk baru pada bangunan terlihat pada penggunaan atap gable dengan versi lebih modern.







Gambar Kontekstualisme Kota

d. Mengabstraksi bentuk-bentuk asli (kontras).
• Contohnya, desain bangunan Woll Building, Carlton Gardens, dan St James, London.
• Elemen bukaan pada bangunan lama yang memiliki ukuran kecil, diabstraksikan pada bangunan baru dengan bentuk lebih besar dan transparan dengan tetap menjaga pola-pola atau ritme dari bukaan pada bangunan lama.









Gambar. St. James







Gambar. Carlton gardens
6. ARSITEK YANG MENERAPKAN KONTEKSTUALISME DALAM DESAINNYA
• The Museum of Fine Arts in Boston : Foster & Spencer de Grey
• Lowell's Beaux Arts, Pyramid de Louvre :I M Pei
• Manhattan's Morgan Library : Renzo Piano
• Steven Holl
• Hardy Holzman Pfeiffer
• Tod Williams Billie Tsien
• Justus Dahinden

7. KEGAGALAN ARSITEKTUR MODERN MENURUT PENGANUT KONTEKSTUALISME
• Kurangnya pengertian tentang urban context
• Penekanan yang berlebihan pada obyek dan bukannya pada jaringan (tissue) antar mereka
• Mendisain dari dalam ke luar dan bukannya dari ruang luar (eksterior) ke dalam.




8. KESIMPULAN
• Solusi desain arsitektur kontekstual tidak hanya menyelaraskan keberadaan bangunan lama dengan bangunan baru, namun juga turut menjaga dan melestarikan warisan budaya atau peninggalan sejarah berupa bangunan lama yang bisa dijadikan aset nasional dan obyek wisata dari sebuah negara.


PRIVASI, TERITORIALITAS DAN RUANG PERSONAL – TEORI PROKSEMIK

Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusia juga merupakan makhluk sosial hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosialnya manusia berperilaku sosial dalam lingkungannya dapat diamati pada fenomena perilaku-lingkungan, kelompok pemakai, dan tempat berlangsungnya kegiatan.
Pada proses sosial, perilaku interpersonal manusia meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Ruang Personal ( Personal Space ) berupa domain kecil sejauh jangkauan manusia.
b. Teritorialitas yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah yang lebih luas bagi seseorang.
c. Kesesakan dan Kepadatan yaitu keadaan apabila ruang fisik yang tersedia terbatas.
d. Privasi sebagai usaha optimal pemenuhan kebutuhan sosial manusia.
Dalam proses sosial, perilaku interpersonal yang sangat berpengaruh pada perubahan ruang publik adalah teritorialitas. Konsep teritori dalam studi arsitektur lingkungan dan perilaku yaitu adanya tuntutan manusia atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan kultural. Berkaitan dengan kebutuhan emosional ini maka konsep teritori berkaitan dengan ruang privat dan ruang publik. Ruang privat ( personal space) dapat menimbulkan crowding ( kesesakkan ) apabila seseorang atau kelompok sudah tidak mampu mempertahankan personal spacenya.

1. PRIVASI
Privasi merupakan konsep yang terdiri dari tiga dimensi :
• Pertama : privasi merupakan proses pengontrolan boundary, artinya pelanggaran terhadap boundary ini merupakan sebuah pelanggaran.
• Kedua : Privasi dilakukan dalam upaya memperoleh optimalisasi, artinya seseorang atau kelompok yang memisahkan diri dari orang lain atau keramaian bukan untuk menghindar, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai kebutuhan tertentu.
• Ketiga ; Privasi merupakan proses multi mekanisme, artinya ada banyak cara orang melakukan privasi baik melalui ruang personal, teritorial, komunikasi verbal dan non verbal.

Perjenjangan Privasi pada apartemen Habitat 67 Montreal (Moshe Safdie) dengan urutan unit hunian (paling privat) taman pribadi, selasar taman umum halaman depan jalan raya (paling publik).














Dalam kaitannya dengan ruang, penandaan berkait erat diantaranya dengan pembentukan privasi. Semakin sedikit yang terlibat semakin privatlah kegiatan atau ruang tersebut, dan sebaliknya. Sistem tanda dapat membantu mengkomunikasikan derajat privasi ini.

• Privasi Psikologis dan Teritorialitas
Secara umum, privasi dapat bersifat psikologis dan teritorialitas atau kewilayahan. Privasi psikologis berkaitan dengan keleluasaan seseorang atau satu pihak melakukan suatu kegiatan tanpa perasaan diawasi oleh orang atau pihak lain. Privasi teritorialitas berkaitan dengan pengendalian suatu ruang atau wilayah oleh seseorang atau satu pihak tanpa intervensi orang atau pihak lain.








• Tanda Elemen Fixed dan Semi-Fixed
Arsitek Ludwig MIES VAN DE ROHE menganggap bahwa kotak berangka baja dengan selubung kaca adalah ungkapan yang paling baik untuk arsitektur modern sehingga dia membuat bangunan untuk berbagai kegunaan dengan bentuk ini. Kotak kaca yang bening ini dapat mewadahi dengan baik fungsi publik pada Galeri Nasional Berlin (atas) tapi untuk dapat mewadahi fungsi privat seperti pada Rumah Farnsworth (bawah) yang memerlukan derajat ketertutupan pandangan tertentu diperlukan tambahan elemen semi fixed yang berupa tirai (vertical blind).

Ruang Berbatas Tetap (Fixed-Feature Space), ruang berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relatif tetap dan tidak mudah digeser, seperti dinding masif, jendela, pintu atau lantai.
Ruang Berbatas SemiTetap ( SemiFixed- Feature Space),ruang yang pembatas nya bisa berpindah, seperti ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi yang dapat dipindahkan ketika dibutuhkan menurut setting perilaku yang berbeda.
Ruang Informal, ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang terbentuk kedua orang atau lebih berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi diluar kesadaran. Desain behavior setting tidak selalu perlu dibentuk ruang-ruang tetap, baik yang berpembatas maupun semi tetap terlebih lagi dalam desain ruang publik yang di dalamnya terdapat banyak pola perilaku yang beraneka ragam.

2. TERITORIALITAS
• Definisi dari teritori manusia menurut Leon Pastalan :
“ A delimited space that a person or a groups uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, symbolized by attitude of possessiveness and arrangements of objects in the area.”
“ Batasan ruang di mana individu ataupun kelompok menggunakan dan mempertahankannya seperti perlindungan ekskusif. Teritori melibatkan identifikasi fisiologis mengenai tempat, simbol atas perilaku posesif dan cara mengatur objek di suatu tempat.”
• Edney dalam Laurens (2004:124) dan Snyder (1979:90) mendefinisikan teritorialitas sebagai penggunaan suatu area oleh individual atau komunitas untuk menunjukkan kekuasaan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, kepemilikan, personalisasi, pemuasan kebutuhan, dan identitas melalui penandaan. Indikasi ini, selanjutnya oleh Snyder, disebut sebagai ciri teritori.
• Teritori dan teritorialitas menunjuk pada sekelompok pelataran perilaku bahwa seseorang ingin ingin berbuat sesuai kehendaknya sendiri, menyatakan ciri, memiliki dan bertahan. Berbeda dengan ruang pribadi, teritori adalah tetap dan tidak beralih.
• Teritori memiliki lima ciri :
1. Memuat daerah ruang
2. Dikuasai, dimiliki, atau dikendalikan oleh individu atau kelompok
3. Memuaskan beberapa kebutuhan atau dorongan seperti kawin atau status
4. Ditandai secara konkrit atau simbolik
5. Orang akan mempertahankannya atau setidak-tidaknya merasa tidak senang bila teritori mereka dilanggar dengan cara apapun oleh pengacau.
• Teritorialitas sebagai suatu konsep melingkupi spesies hewan dan manusia. Dan sesungguhnya konsep ini mula-mula berasal dari penelitian meluas tentang primata, vertebrata yang lebih tinggi, dan unggas. Contoh-contoh dari teritori manusia meliputi rumah tangga, kantor, daerah kerja seseorang dan ruanga sekitarnya, halaman atau daerah di depan rumah tinggal, ”wilayah kekuasaan” gerombolan, ruang bermain, dan bahkan seluruh daerah lingkungan dan tempat tinggal.
• Teritori ini, adakalanya dibela dengan perkelahian, adakalanya dengan dengan petunjuk-petunjuk yang bukan merupakan kata-kata, dan sering dengan cara-cara yang arsitektural dan simbolik.
• Irwin Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan.
1. Tiga kategori tersebut adalah primary,secondary dan public territory.
Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.
2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sdekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.
3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat diamsuki oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.
Ketiga kategori tersebut sangat spesifik dikaitkan dengan kekhasan aspek kultur masyarakatnya. Kalau merujuk pada batasan diatas maka yang disebut dengan tempat privat adalah setara dengan primary teritory sedangkan tempat publik setara dengan public territory.
• Penelitian mengenai teritori primer, skunder, dan publik menunjukkan, bahwa orang cenderung merasa memiliki kontrol terbesar pada teritori primer, dibanding dengan teritori sekunder maupun teritori publik. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi ketidak nyamanan terhadap teritorinya.
• Fungsi dari Teritori
Kemampuan perancangan lingkungan untuk memberikan privasi melalui pengendalian teritori sangat penting dimiliki karena hal itu akan menjadi penyelesaian dan solusi bagi beberapa kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan tersebut antara lain adalah kebutuhan akan identitas/pengakuan diri, kebutuhan akan stimultan/dorongan/rangsangan, kebutuhan akan keamanan dan yang terakhir ditambahkan oleh Hussein El-Sharkawy (1979) adalah “frame of reference”
Identitas akan mengungkap tentang siapa dan apa peranan seseorang dalam masyarakat. Stimulasi terkonsentrasi dengan pemenuhan kepuasan dan aktualisasi diri. Keamanan dapat terealisasikan jika seseorang bebas dari serangan dari luar dan dapat memiliki dan menunjukkan kepercayaan diri. Frame of reference dapat terbentuk jika suatu hubungan dengan sesama dan lingkungan sekitar dapat terpelihara dengan baik. Menurut Altman (1975), teritori bukan hanya berarti memperoleh privasi tetapi juga berarti hubungan sosial yang stabil dan baik.
Rumah yang berada jauh dari kota dan tetangga, memungkinkan penghuninya memiliki teritorialitas yang lebih luas dibandingkan dengan penghuni yang memiliki rumah di daerah perkotaan dan dekat dengan jalan raya.
Di samping adalah penanda yang berupa gerbang/gapura. Ini merupakan salah satu penanda teritori dari suatu tempat.

Tanda dan Privasi Teritorial
Teritori atau wilayah adalah suatu ruang yang berada di bawah kendali atau kekuasaan seseorang atau suatu pihak dalam pembatasan akses, pengelolaan dan pemanfaatannya. Dalam sistem tanda, suatu elemen baik yang bersifat fixed, semi-fixed maupun non-fixed dapat dijadikan penanda bagi suatu klaim teritori tertentu sehingga berada di bawah kendali satu pihak agar tidak diintervensi oleh pihak lain. Elemen-elemen semi-fixed untuk menandai kehadiran satu pihak yang menguasai dan mengendalikan sepenggal ruang di bentang alam terbuka.
Halte bus yang pada dasarnya merupakan teritori publik seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan privat segelintir orang (tiduran, berjualan) dan bahkan kadang menentap. Halte rancangan Frank Gehry yang tetap terjaga sebagai wilayah publik (kiri)














Klaim Teritori Privat pada Ruang Publik
Suatu teritori yang bersifat publik dapat diubah menjadi privat dengan penandaan tertentu. Seringkali hal ini bersifat kompetisi atau persaingan antara pihak publik dan privat ataupun sesama pihak privat yang memperebutkan suatu ruangan tertentu. Pada hari biasa trotoar ini bersifat publik sehingga siapapun dapat melintasi dan memanfaatkannya. Akan tetapi pada hari pasaran, dengan menggelar alas dan menaruh barang-barang dagangan di atasnya (yang berupa elemen-elemen semi fixed) keluarga ini dapat mengubah sepetak trotoir publik menjadi privat tempat mereka berjualan dan beristirahat.

Teritori yang lebih privat di Kraton Yogyakarta ini ditandai dengan tembok tebal dan tanda “semua pedagang dilarang masuk”. Tapi karena ruang itu menjanjikan manfaat finansial yang tinggi maka pedagang ini menyasatinya dengan meletakkan dagangan menempel pada batas teritori privat tersebut.




Contoh kasus teritori pada pemukiman tepi Sungai Code :
Kasus perumahan spontan di tepian Sungai Code, teritori yang dibangun penghuni diwujudkan dengan parameter yang beragam. Masyarakat di kawasan ini telah membangun teritori dalam wadah terbuka dan tertutup. Indikasi kegiatan yang terjadi di wadah terbuka ditunjukkan lebih spesifik dalam dua kategori, yaitu di tepi sungai dan di tengah sungai.
Area teritori yang telah terbangun lebih fenomenal terjadi di ruang terbuka tepi sungai. Dalam area ini, teritori ditunjukkan dengan adanya kegiatan yang beragaman secara signifikan dibandingkan dengan di tengah sungai.


• Dalam konteks sistem, penghuni telah mewujudkan pembangunan teritori dalam 3 macam kepentingan, yaitu kekuasaan, penggunaan (kegiatan) yang eksklusif, dan identitas melalui penandaan.
Pada rumah susun yang terletak di tepi sungai Code ini, pembagian daerah teritorial tampak jelas dengan penataan secara modular. Bagian yang privat dan publik benar-benar terbagi secara jelas.
Tempat yang terbatas menyebabkan teritori semakin sempit, dan hal ini sangat berpengaruh tidak hanya terhadap luasan rung publik dan privat, tetapi juga terhadap setting perilaku di kawasan seperti ini. Teritorialitas yang dipersepsikan oleh warga Code merupakan wujud manifestasi pemanfaatan ruang publik melalui proses ekspansi lahan tempat tinggal mereka. Ekspansi yang terjadi didasari oleh 2 faktor/kondisi (Saptorini et al, 2004).
Pertama adalah karena keterbatasan ruang dalam (kepadatan penghuni di atas standar), dan kedua adalah karena kelonggaran status lahan yang terletak di sekitar rumah. Alasan yang pertama merupakan dasar munculnya teritori atas dasar kebutuhan fungsional. Dengan rata-rata penghuni yang 10,4 m2/orang, sebetulnya telah berada di atas standar yang 10 m2/orang, namun karena tempat tinggal mereka memiliki peran ganda yaitu juga sebagai tempat usaha (home based enterprise), maka luas tersebut masih dirasakan sangat terbatas.Terwujudnya teritori dalam kasus Permukiman Tepi Sungai Code merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi nyata bagi psikologi lingkungan. Sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dan dominasi, teritori sekunder dan publik yang terbangun di area ini telah memberikan fungsi kontrol dan koordinasi bagi komunitas setempat sehingga membangkitkan rasa tertib dan aman. Satu hal yang perlu diarahkan dan terkait dengan disain arsitektur adalah faktor kenyamanan visual (keindahan), khususnya bagi pihak komunitas kota. Keterbatasan pengetahuan dan kapasitas ekonomi komunitas Code yang sebagian besar berpendidikan SMU dan bermata pencaharian buruh ini sangat mempengaruhi pemahaman kualitas lingkungan.



THE PHENOMENOLOGY of meaning and place

A. The phenomenon of place
• Phenomena :hal yang terdapat di dunia setiap harinya.
• Place : bentuk concrete dari sekitar, Segala sesuatu yang ada dapat menentukan karakter sekitar. Tidak hanya terdiri dari sesuatu yang dapat dilihat tetapi juga terdiri dari sesuatu yang dapat dirasakan.
• Phenomena yangada dapat menjelaskan space dan karakter yang ada.
• Phenomenologi memilki pokok- pokok yang mengenai ontologi, psycologi, ethics, dan estetika.
• Space
Space artian tiga dimensi yang biasa disebut concrete space yaitu penglaman sehari hari
• Karakter
Karakter ditentukan oleh faktor material dan peraturan formal pada suatu wilayah. Suatu wilayah yang berbeda akan menciptakan karakter yang berbeda pula.
• Georg Trakl menjelaskan suatu phenomena dalam kehidupan sebagai sesuatu yang berisi suatu karakter dan space. Melakukan pendekatan terhadap fenomena yang terjadi sesuai kejadian yang kongkret.

B. Spirit of place
1. Meliputi keunikan, kekhususan maupun semacam penghargaan terhadap sebuah tempat
2. Spirit of place mampu memberikan identitas bagi suatu wilayah ‘place’
3. Spirit of place dari sebuah wilayah mampu terbentuk apabila manusia yang merasakan spirit of place ‘to be dwel’ di tempat tersebut.
• Faktor yang mempengaruhi spirit of place
1. Orientation = to know where he is
2. Identification= to know how he is in a certain place
3. Orientation dan identification menjadi aspek yang dari sebuah hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Tanpa sebuah identification yang benar maka tidaklah mungkin manusia mengetahui orentasinya.
4. Dalam masyarakat modern orientation lebih diutamankan dan tidak berjalan seimbang dibanding identification, akibatnya ‘psychologycal sense’ berubah menjadi ‘alienation’ (pengasingan)
• Dwell/mendiami/bertempat tinggal
1. Dwell berasal dari kata dvelja yang artinya masih melekat atau mengingatkan
2. Dwell berarti menjadi nyaman di tempat yang aman
3. Ketika manusia mendiami sebuat tempat maka secara serempak dia berada di tempat itu dan mampu melihat karakter dari lingkungannya.
• Architecture diharapkan dapat membantu manusia mendiami secara total, Menciptakan sebuah kota dan membangun tidaklah cukup, mereka harus mampu menciptakan sebuh lingkungan yang total secara nyata.
• Menurut Heidegger dalam fenomenologi hal yang yang dipentingkan adalah estetika dan tidak bergantung pada keadaan yang seharusnya. Paradigma ini juga ada kaitannya dengan budaya. Fenomenologi mengutamakan unsur manusia dibandingkan dengan logika dari arsitektur. Heidegger mengeluarkan pendapat karena didorong oleh kekhawatirannya terhadap orang modern untuk mewujudkan hidup manusiawi.

C. Heiddeger’s thinking ON architecture
1. “The primary purpose of architecture is to make a world visible”
Ă arsitektur bertugas sebagai “image” untuk melukiskan hal-hal yang tadinya tidak terlihat menjadi terlihat. Hal ini mengacu pada tempat/site/lokasi dimana bangunan arsitektur berdiri.
2. “The nature of the image is to let something be seen. By contrast, copies, and imitations mere variations on the genuine image..which lets the visible be seen”
3. “the buildings bring the earth as the inhabited landscape close to man and at the same time place the nearness of neighbourly dwelling
Ă landscape “terungkap” karena adanya bangunan diatasnya
4. “ the bridge gathers the earth as landscape around the stream..it doesn’t just connect banks that already there. The banks emerge as banks only as the bridge crosses the stream.”
Ă Heiddeger menganalogikan bangunan dengan jembatan. Bangunan membuat sebuah tempat (earth and landscape) menjadi muncul atau nampak kehadirannnya, pada saat bersamaan elemen-elemen yang ada muncul pula sebagaimana adanya mereka.
Dalam Being In Time Heiddeger mengungkapkan teknik untuk menyatukan elemen-elemen yang ada antara bangunan dengan landscapenya sehingga dapat muncul hal-hal yang terkandung di dalamnya disebut “Phenomenology”. Selanjutnya Heiddeger memperkenalkan istilah Andenken untuk hal menyatukan tersebut.
5. “bulding never shapes pure space as single entity..but because it produces things as locations, building is closer to the nature of space and the origin of space than any geometry and mathematics.”
Ă  sebuah lokasi atau ruang hidup disebut place. Dan arsitektur dapat diartikan sebagai “the making of places”
6. “a work of architecture therefore is discloses the spatiality of the fourfold through its standing there.”
Ă  dalam proses tersebut arsitektur bertugas membuat sebuah tempat menjadi “visible” namun pada kenyataannya tidak dapat semuanya dapat terlihat, karena adanya konsep spayiality. Karena itu kemudian arsitektur juga bertugas menyatukan spatiality dari elemen-elemen tersebut melalui sebuah bangunan atau karya arsitektur. Dalam Being In Time Heiddeger menginterpretasikan tempat tinggal manusia dengan 4 unsssssur/elemen serangkai yaitu bumi, langit, dewa, kematian
• Heiddeger : architecture as “setting into work of truth”
as work of art, building “preserves the truth”
1. Pandangan Heiddeger sebenarnya ingin mengingatkankita nahwa kita hidup di dunia yang konkret, bukan sesuatu yang abstrak dalam sains.
2. arsitektur bukanlah sesuatu yang abstrak dalam pekerjaannya mengolah ruang , namun arsitektur membuat landscape yang ditinggali menjadi dekat dengan manusianya. Inilah tujuan utama arsitektur.
3. pemikiran Heiddeger dalam arsitektur sebagai visualisasi kebenaran mengembalikan dimensi artistik arsitektur.
4. Dengan pengertian konsep tentang dunia, benda, dan kerja Heiddeger membawa kita kembali pada konsep konkret dari keabstrakan sains pada era konsep “form follows function” dimana “functionalism” terabaikan ketika arsitektur baru tentang image muncul.
5. Pemikiran Heiddeger membantu kita memahami konsep tersebut dan Andenken menjadi metode untuk menghasilakn pemahaman yang utuh tentang total vision of world.

D. On Reading Heidegger
• Menurut Kenneth Frampton ada kondisi kontemporer yang mengurangi kemampuan arsitektur untuk bertahan:
1. Sulitnya membedakan antara arsitektur dan bangunan, dan asumsi bahwa semua pekerjaan adalah arsitektur ( Asumsi ini bertolak belakang dengan pendapat Adolf Loos yang menyatakan bahwa arsitektur hanya terbatas pada monumen dan makam, dan pendapat Hannes Meyer yang menyatakan bahwa segalanya adalah bangunan.
2. Secara tidak langsung industri konstruksi menggantikan buatan manusia
3. Hilangnya hubungan dengan kealamian, kekejaman, perusakan sumber daya yang mana dapat mengurangi kemungkinan untuk bertahan hidup
• Aspek utama dari ide Frampton adalah dengan memperbaharui perhatian terhadap kualitas spasial yang dapat berupa pembatasan tempat.
• MenurutHeidegger dan Aristotle tempat memiliki peran politik dan simbolis yang penting yang mewakili struktur dari hubungan sosial.
dia menyebut “ An environmental dialetic of production.”
• Frampton meningkatkan responnya terhadap lingkungan terdapat dalam teorinya Critical Regionalism, (1983, ch.11)
• Dalam melihat suatu tempat kita tidak boleh hanya melihat sebagai seorang arsitek saja tapi sebagai masyarakat
• pandangan Heidegger tentang bangunan, bangunan itu bukan hanya sekedar memenuhi fungsi, tetapi juga menyampaikan ungkapan perasaan pendesainnya. Pendapat Heidegger itu didukung oleh Christian Norberg melalui pembuktiannya mengenai pandangan Heidegger tersebut.
• ‘Place’, menurut Aristotelian phenomenon,,muncul dengan kesadaran terhadap arti sosial dan pada dasar pemikiran di mana siapapun dapat masuk ke dalamnya
• Menurut Adolf Loos “ Only a very small part of architecture belongs to art: the tomb and the monument.”

E. The Geometry Of Feeling
1. Architecture as play with form
• Arsitektur adalah bidang ilmu yang selalu bermain dengan bentukan atau “form”. Bentukan “form” terebut mempunyai hubungan dengan bagaimana karya arsitektur itu memberikan “experience” pada penghuninya. Bentuk atau geometri secara general menciptakan archiectural feeling
2. The illusion of Elementarism
• Setiap fenomena terdiri atas basic elements yang terdapat di dalamnya serta hubungan di antaranya serta bagaimana elemen - elemen tersebut dapat dilihat sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan dari elemen. Arsitektur didefinisikan sebagai sebuah permainan pembentukan form dengan mengkombinasikan berbagai visual element dar bentuk dan ruang. Hal ini dilakukan untuk menciptakan karakter yang membangkitkan visual senses dari kedinamsan visual perception pada ruang.
3. The Architecture Of Imagery
• Sebuah arti atau fenomena bukan terletak pada bentukan itu sendiri, melainkan dari images yang ditransmisikan oleh forms dan kekuatan emotinal yang dibawa oleh form itu sendiri. Form hanya dapat mempengaruhi feeling kita melalui apa yang sebenarnya direpresentasikan ( paradoks dari sebuah form )
4. The Eidos Of Architecture
• Sebagai arsitek, seharusnya tidak mengutamakan merancang bangunan sebagai physical objects, tetapi perancangan didasarkan atas images dan feelings yang akan dirasakan oleh penghuninya. Phenomenology didefiniskan oleh Edmund Husserl sebagai “pure looking at” atau “viewing essence” . Phenomenology architecture dipahami sebagai “looking at” arsitektur dengan pengalaman yang dialami secara sadar.
5. The Architecture Of Memory
• Sebuah karya arsitektur meninggalkan jejak memori yang spesifik namaun dapat pula beraneka ragam dan bersifat personal pada para penghuninya atau bahkan orang yang hanya sekilas saja melihat karya arsitektur tersebut
6. The Primary Feelings Of Architecture
• Contoh type primary feelings yang dihasilkan oleh arsitektur Sebuah rumah adalah tanda dari kebudayaan pada landscape, cerminan manusia yang tinggal di dalamnya
e. pendekatan bangunan, sebagai tempat tinggal manusia yang membentuk formnya
f. entrance rumah yang menciptakan batas teritorinya
g. mempunyai atap sebagai wujud ekspresi terlindungi dan ternaungi
h. melangkah daam rumah, memasuki rumah melalui pintu, melewati batas antara eksterior dan interior

CONTOH BANGUNAN :
1)


















• Bangunan karya tadao ando ini merupakan suatu bentuk phenomenology dimana bangunan yang akan membentuk image suatu site, bangunan akan terlihat bagus jika didukung oleh site yang menarik, begitu pula sebaliknya.
• Kesan pada interior bangunan diciptakan dengan pemanfaatan eksisting
• Penempatan bangunan pada site yang dilakukan dengan tepat mendukung pembentukan kesan tertentu pada bangunan

2) Arsitektur: museum Aceh ini merupakan teras pandang sekaligus backdrop panorama menuju ke lokasi heritage trail living museum. Disusun dengan menggunakan batuan karang laut, dan beton sisa reruntuhan bangunan diseluruh kota aceh. Bebatuan ini diletakkan sebagai pengisi dinding museum. Rapat renggang susunan celah bebatuan akan menghasilkan kulaitas cahaya yang berbeda saat cahaya masuk kedalam ruangan museum.

• Keterangan:
Konsep desain terbagi menjadi tiga kelompok; lansekap, arsitektur bangunan dan fenomenologi.
Spirit of place.spirit of time.
Mengambil makna tempat dan waktu dari material sisa bencana. material. tempat.. waktu dan kenangan. Bongkahan material sisa, gelap terang, halus kasar, kusam material.Pola ruang yang linier, ekspresi material kasar dan monokrom dingin. Suasana inilah yang hendak dibingkai untuk menghantarkan suasana Desemeber 2004 lalu.



MINIMALISM
A. LATAR BELAKANG
Ludwig Mies van der Rohe
• Dikatakan oleh Charles Jencks dalam bukunya yang berjudul the New Modern, bahwa Mies van der Rohe merupakan ‘nenek moyang’ nya minimalism.
• Gerakan minimalism merupakan gerakan 'back to basic' atau kembali kepada kesederhanaan. Gerakan ini merupakan jawaban atas keadaan yang dicetuskan oleh orang-orang yang tidak menghargai sumber daya alam dengan mengekploitasi habis-habisan sumber daya alam untuk hal-hal yang tidak perlu dari alam kehidupan sehari-hari. Paham minimalis itu akhirnya berkembang menjadi satu pola pikir.
• Filosofi minimalis mewakili gaya hidup yang praktis, dinamis, ringkas, efektif, dan efisien, yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan termasuk arsitektur bangunan rumah, interior ruang, dan eksterior taman.
• Minimalis menghilangkan kejenuhan terhadap pemakaian banyak ornamen dekoratif, pernak-pernik aksesori.
• Karakter dan kualitas ruang-ruang yang tercipta ditentukan oleh keberadaan ruang itu sendiri, bukan oleh perabot dan pernak-pernik aksesori di dalamnya.
• Ruang menjadi terasa lega (hampa, keabadian, suasana meditatif) sesuai kebutuhan utama penghuni, mengoptimalkan sirkulasi udara segar yang sehat, dan pencahayaan sinar matahari yang melimpah (kaya warna).

• Konsep minimalis Barat dan Timur memang agak berbeda.
• Konsep minimalis Barat cenderung pada rasional fungsional yang lebih menekankan pada fungsi ruang dan ekspresi kejujuran material.
• Sedangkan konsep minimalis Timur sangat dipengaruhi filosofi Zen-Buddhisme yang menekankan kesederhanaan, keselarasan, efisien, dan efektif, dan menyimbolkan kekosongan dan keheningan (nilai spiritual) agar setiap ruang yang tercipta jernih, polos, dan bening, sehingga ruang dapat dihayati kebesaran Sang Pencipta. Menjadi minimalis yang alami. Di Indonesia adalah desain minimalis tropis, yaitu kubus dengan atap segitiga
• Desain bangunan minimalis mengedepankan aspek fungsional, sehingga desain ini menyuguhkan keefisienan serta fungsionalitas dalam setiap bangunan.
• Desain rumah yang bergaya minimalis menjadi satu pilihan yang tepat bagi kaum urban, karena selain memudahkan dalam hal perawatan dan pembersihan, desain ini tampil sebagai bentuk geometri yang tidak banyak menggunakan sekat sehingga intensitas bertemu anggota keluarga di rumah pun jadi lebih banyak. Lagi pula, desain minimalis tidak akan cukup membosankan, karena penggunaan rumah hanya sebatas untuk istirahat dan berkumpul bersama keluarga, selebihnya dihabiskan di kantor atau luar rumah.


B. CIRI KHAS MINIMALISM
1. Pola geometris, proporsional, efektif-efisien
2. Warna netral, dan alami (kesan lega dan lapang), warna murni (primer)
3. Representasi alam (tanaman, bentuk kontur, unsur air)
4. Material mentah tanpa finishing yang berlebihan (kesan tenang, lembut, murni, suci, polos), tekstur, dan kontras
5. Bentuk desain yang lugas, polos, sederhana, tidak rumit, kompak, dan efisiensi-efektif ruang
6. Blocking massa, pencahayaan, pengulangan, sirkulasi ringkas, optimalisasi multifungsi ruang dan berurut
7. Nilai keindahan tidak mengandalkan ornamen dan obyek artifisial
8. Bermakna kepada sebuah kejujuran bentuk, fungsi, dan penjiwaan ruang-ruang yang diciptakan


• Apakah bentuk minimal selalu kotak sederhana?
Bentuk rumah minimalis tidak selalu harus kotak sederhana, tetapi juga dapat berbentuk platonik geometri menjadi bagian dari lansekap yang "tiba-tiba" muncul ke atas. Namun, jika rumah tersebut memang hanya diperlukan bentuk kotak, maka bentuk kotak merupakan hasil dari suatu proses kebutuhan fungsi, bukan karena pemaksaan ataupun latah mengikuti tren.

• Apakah jenis bahan material yang digunakan harus sesedikit mungkin?
Pemakaian beragam bahan material seperti kayu, batu bata, batu kali, kaca, beton ekspos, atau baja juga dapat tampil murni. Ekspos dominasi bahan material tertentu akan menghasilkan efek yang berbeda-beda. Desain dan perhitungan struktur yang detail dapat menghemat pemakaian bahan material dengan hasil bangunan tetap optimal.
• Apakah arsitektur rumah minimalis itu murah karena pemakaian kata minimal?
Rumah minimalis menekankan bentuk desain yang lugas, polos, sederhana, tidak rumit, kompak, dan efisiensi ruang. Mahal murah suatu bangunan sangat ditentukan oleh pemakaian bahan material yang digunakan dari desain yang diusulkan. Adapun biaya struktur bangunan rumah umumnya memakai harga standar pasaran. Penyelesaian pekerjaan yang rapi dan penuh kehati-hatian menuntut tenaga tukang yang terampil, jeli, dan berpengalaman sehingga membuat biaya tukang di atas harga pasaran.
• Apakah ada kekurangan dari desain minimalis?
Tentu, yaitu dari segi pembuatannya. Karena sifatnya yang sangat presisi, rumah minimalis harus dibangun dengan amat teliti. Detail sambungan pada furniture atau acian dinding yang smooth (halus) sangat diperlukan untuk mewujudkan hasil yang sempurna. Otomatis biayanya pun dapat berakhir dengan angka yang lebih tinggi dibandingkan membangun rumah dengan gaya lain yang tidak memerlukan kecermatan tinggi.
• Apakah warna yang sesuai untuk desain minimalis?
Yang penting sederhana. Maka warna dasarnya banyak menggunakan warna putih. Jika ada tambahan warna ia adalah abu-abu dengan segala variannya. Bisa abu-abu kehijau-hijauan, abu-abu kebiruan atau kehitaman. Atau memang warna dasarnya abu-abu lalu jika pun ada aksentuasi hanyalah pada lis di jendela, pet di teras. Dan warna yang digunakan sebaiknya jangan seberani mediterania. Satu tingkat di bawahnya.

C. APLIKASI

1)












• John Pawson
Dikenal sebagai guru ‘minimalism’ dengan bukunya yang berjudul Minimum
• Mengambil contoh aplikasi rumah minimalis ‘Casa Baron’ di Swedia
• Architect: John Pawson
Location: Sweden
Built/Founded: 2005
Project: Family vacation House

2)













VilLA NM – Upstate New York
Location: Upstate New York, Catskills, USA
Program: Single family house
Gross floor surface: 250 m²
Volume: 700 m³
Site: 7.423 m²
Architect: Ben van Berkel
3)












House in Henaji, Okinawa, Japan
Kazunori Fujimoto

D. KESIMPULAN
Pada dasarnya inti dari minimalisme adalah mendapatkan hasil yang maksimal dari sesuatu yang minimal. Nilai keindahan yang didapat bukan sekedar dari permainan ornamen dan obyek artificial, namun lebih kepada kejujuran bentuk, fungsi, dan penjiwaan dari ruang-ruang yang tercipta.

SUSTAINABLE ARCHITECTURE
Arsitektur berkelanjutan, adalah sebuah topik yang menarik. Akhir-akhir ini semakin banyak diberitakan dan dipromosikan dalam kalangan arsitek, karena arsitek memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam dalam desain-desain bangunannya. Apresiasi yang besar bagi mereka yang turut mempromosikan arsitektur berkelanjutan agar kita lebih bijaksana dalam menggunakan sumber daya alam yang makin menipis.
Sustainable architecture atau dalam bahasa Indonesianya adalah arsitektur berkelanjutan, adalah sebuah konsep terapan dalam bidang arsitektur untuk mendukung konsep berkelanjutan, yaitu konsep mempertahankan sumber daya alam agar bertahan lebih lama, yang dikaitkan dengan umur potensi vital sumber daya alam dan lingkungan ekologis manusia, seperti sistem iklim planet, sistem pertanian, industri, kehutanan, dan tentu saja arsitektur. Kerusakan alam akibat eksploitasi sumber daya alam telah mencapai taraf pengrusakan secara global, sehingga lambat tetapi pasti, bumi akan semakin kehilangan potensinya untuk mendukung kehidupan manusia, akibat dari berbagai eksploitasi terhadap alam tersebut.





Cara-cara baru dapat dipikirkan berdasarkan pengalaman membangun, dari arsitektur vernakular maupun modern.
Dampak negatif dari pembangunan konstruksi sangat beragam, antara lain adalah dieksploitasinya sumber daya alam secara berlebihan. Simak saja, pertambangan sumber daya alam yang dikeruk habis-habisan, penggundulan hutan tanpa penanaman kembali, dimana hal-hal semacam ini dapat menurunkan kualitas sumber daya alam lain di bumi. Tidak hanya itu, teknologi dan hasil teknologi yang digunakan manusia seperti kendaraan, alat-alat produksi dalam sistem produksi barang dan jasa (misalnya pabrik), peralatan rumah tangga dan sebagainya dapat menimbulkan dampak negatif akibat emisi gas buangan, limbah yang mencemari lingkungan.
Tampaknya, sangat tidak mudah untuk menghilangkan sama sekali dampak dari pembangunan dan konstruksi terhadap lingkungan. Tentunya tidak mungkin untuk melarang orang membangun, karena sudah menjadi kebutuhan manusia, sehingga yang dapat dilakukan adalah memasukkan konsep arsitektur berkelanjutan dalam rangka meminimalkan dampak negatif konstruksi terhadap lingkungan. Banyak tokoh arsitektur, di Indonesia misalnya Adi Purnomo, Eko Prawoto, Ahmad Tardiyana, dan lain-lain, mengembangkan konsep arsitektur berkelanjutan secara pribadi dan melalui pengalaman dalam praktek desain arsitektur dan dalam dunia akademis. Konsep arsitektur berkelanjutan, yang disampaikan oleh berbagai narasumber dan praktisi dalam konsep ini memiliki banyak persamaan, yaitu menyerukan agar sumber daya alam dan potensi lahan tidak digunakan secara sembarangan, penggunaan potensi lahan untuk arsitektur yang hemat energi, dan sebagainya.
Berbagai konsep dalam arsitektur yang mendukung arsitektur berkelanjutan, antara lain;

1. Dalam efisiensi penggunaan energi

Arsitektur dapat menjadi media yang paling berpengaruh dengan implementasi arsitektur berkelanjutan, karena dampaknya secara langsung terhadap lahan. Konsep desain yang dapat meminimalkan penggunaan energi listrik, misalnya, dapat digolongkan sebagai konsep sustainable dalam energi, yang dapat diintegrasikan dengan konsep penggunaan sumber cahaya matahari secara maksimal untuk penerangan, penghawaan alami, pemanasan air untuk kebutuhan domestik, dan sebagainya.
a. Memanfaatkan sinar matahari untuk pencahayaan alami secara maksimal pada siang hari, untuk mengurangi penggunaan energi listrik
b. Memanfaatkan penghawaan alami sebagai ganti pengkondisian udara buatan (air conditioner). Menggunakan ventilasi dan bukaan, penghawaan silang, dan cara-cara inovatif lainnya
c. Memanfaatkan air hujan dalam cara-cara inovatif untuk menampung dan mengolah air hujan untuk keperluan domestik
d. Konsep efisiensi penggunaan energi seperti pencahayaan dan penghawaan alami merupakan konsep spesifik untuk wilayah dengan iklim tropis
2. Dalam efisiensi penggunaan lahan
Lahan yang semakin sempit, mahal dan berharga tidak harus digunakan seluruhnya untuk bangunan, karena sebaiknya selalu ada lahan hijau dan penunjang keberlanjutan potensi lahan.
a. Menggunakan seperlunya lahan yang ada, tidak semua lahan harus dijadikan bangunan, atau ditutupi dengan bangunan, karena dengan demikian lahan yang ada tidak memiliki cukup lahan hijau dan taman. Menggunakan lahan secara efisien, kompak dan terpadu
b. Potensi hijau tumbuhan dalam lahan dapat digantikan atau dimaksimalkan dengan berbagai inovasi, misalnya pembuatan atap diatas bangunan (taman atap), taman gantung (dengan menggantung pot-pot tanaman pada sekitar bangunan), pagar tanaman atau yang dapat diisi dengan tanaman, dinding dengan taman pada dinding dan sebagainya





Dinding inovatif dengan tanaman dalam pot tanaman dari kaleng-kaleng bekas, dalam sebuah rumah
c. Menghargai kehadiran tanaman yang ada di lahan, dengan tidak mudah menebang pohon-pohon, sehingga tumbuhan yang ada dapat menjadi bagian untuk berbagi dengan bangunan.
d. Desain terbuka dengan ruang-ruang yang terbuka ke taman (sesuai dengan fleksibilitas buka-tutup yang direncanakan sebelumnya) dapat menjadi inovasi untuk mengintegrasikan luar dan dalam bangunan, memberikan fleksibilitas ruang yang lebih besar.
e. Dalam perencanaan desain, pertimbangkan berbagai hal yang dapat menjadi tolak ukur dalam menggunakan berbagai potensi lahan, misalnya; berapa luas dan banyak ruang yang diperlukan? Dimana letak lahan (dikota atau didesa) dan bagaimana konsekuensinya terhadap desain? Bagaimana bentuk site dan pengaruhnya terhadap desain ruang-ruang? Berapa banyak potensi cahaya dan penghawaan alami yang dapat digunakan?
3. Dalam efisiensi penggunaan material
a. Memanfaatkan material sisa untuk digunakan juga dalam pembangunan, sehingga tidak membuang material, misalnya kayu sisa bekisting dapat digunakan untuk bagian lain bangunan
b. Memanfaatkan material bekas untuk bangunan, komponen lama yang masih bisa digunakan, misalnya sisa bongkaran bangunan lama.
c. Menggunakan material yang masih berlimpah maupun yang jarang ditemui dengan sebaik-baiknya, terutama untuk material yang semakin jarang seperti kayu.
4. Dalam penggunaan teknologi dan material baru
a. Memanfaatkan potensi energi terbarukan seperti energi angin, cahaya matahari dan air untuk menghasilkan energi listrik domestik untuk rumah tangga dan bangunan lain secara independen
b. Memanfaatkan material baru melalui penemuan baru yang secara global dapat membuka kesempatan menggunakan material terbarukan yang cepat diproduksi, murah dan terbuka terhadap inovasi, misalnya bambu.
5. Dalam manajemen limbah
a. Membuat sistem pengolahan limbah domestik seperti air kotor (black water, grey water) yang mandiri dan tidak membebani sistem aliran air kota.
b. Cara-cara inovatif yang patut dicoba seperti membuat sistem dekomposisi limbah organik agar terurai secara alami dalam lahan [ref buku rumah], membuat benda-benda yang biasa menjadi limbah atau sampah domestik dari bahan-bahan yang dapat didaur ulang atau dapat dengan mudah terdekomposisi secara alami.
Perlunya lebih banyak promosi bagi arsitektur berkelanjutan adalah sebuah keharusan, mengingat kondisi bumi yang semakin menurun dengan adanya degradasi kualitas atmosfer bumi yang memberi dampak pada pemanasan global. Semakin banyak arsitek dan konsultan arsitektur yang menggunakan prinsip desain yang berkelanjutan, semakin banyak pula bangunan yang tanggap lingkungan dan meminimalkan dampak lingkungan akibat pembangunan. Dorongan untuk lebih banyak menggunakan prinsip arsitektur berkelanjutan antara lain dengan mendorong pula pihak-pihak lain untuk berkaitan dengan pembangunan seperti developer, pemerintah dan lain-lain. Mereka juga perlu untuk didorong lebih perhatian kepada keberlanjutan dalam pembangunan ini dengan tidak hanya mengeksploitasi lahan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa kontribusi bagi lingkungan atau memperhatikan dampak lingkungan yang dapat terjadi.

CRITICAL REGIONALISM

1. PENDAHULUAN
Seni bangunan sebenarnya adalah suatu bidang kesenian yang amat cocok untuk dapat mempertinggi rasa kebanggaan dan identitas suatu bangsa. Wujudnya sangat fisik dan lokasinya di kota-kota besar yang sering dikunjungi oleh bangsa-bangsa dari seluruh penjuru mata angin, sehingga dapat tampak dari luar. Sifat khasnya bisa mudah ditonjolkan sedangkan mutunya pun mudah dapat diobservasi.
Sumber untuk mengembangkan sifat-sifat khas dalam seni bangunan Indonesia dapat dicari di dalam seni bangunan dari suku-suku bangsa di daerah atau alam Indonesia seluruhnya, sedangkan pengembangan mutu ditentukan oleh standar ilmu arsitektur. Gaya nasional yang benar-benar bisa kita banggakan sebenarnya belum ditemukan oleh arsitek-arsitek kita. Banyak gedung baru diberbagai kota di Indonesia belum memperlihatkan suatu kepribadian yang kuat walaupun usaha untuk mengolah unsure tertentu dari seni arsitektur Indonesia sudah dicoba.
Pada kesempatan lain, Josef Prijotomo menyatakan bahwa suatu karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak Indonesia bila karya ini mampu untuk :
a. Membangkitkan perasaan dan suasana ke-indonesiaan lewat rasa dan suasana
b. Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nyata-nyata Nampak corak kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan (Topi) saja.

2. PENGERTIAN
Bermula dari munculnya arsitektur modern yang berusaha meninggalkan masa lampaunya, meninggalkan ciri serta sifat-sifatnya, timbullah usaha-usaha untuk mempertautkan antara yang lama dengan yang baru. Salah satu usaha tersebut adalah regionalisme.
Regionalisme merupakan suatu aliran arsitektur yang selalu melihat kebelakang, tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor tampak bangunan atau hanya menjadi topi tempelan belaka.
Regionalisme merupakan salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar pada ciri kedaerahan, terutama tumbuh dinegara berkembang. Adapun ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya.

3. LAHIRNYA REGIONALISME
Bermula dari munculnya Arsitektur Modern yang berusaha meninggalkan masa lampaunya, meninggalkan cirri serta sifat-sifatnya. Pada periode berikutnya mulai timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada arsitektur. Aliran-aliran tersebut anatara lain adalah tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.
Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960. Sebagai salah satu perkembangan Arsitektur Modern yang mempunyai perhatian besar pada cirri kedaerahan, aliran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya.
Secara prinsip, Tradisionalisme muncul sebagai reaksi terhadap tidak adanya kesinambungan antara yang lama dan yang baru. Regionalism merupakan peleburan/penyatuan antara yang lama dan yang baru. Sedangkan post-modern berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal.
Menurut William Curtis, Regionalisme diharapkan dapat menghasikan bangunan yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara regional dan universal. Dengan demikian maka yang menjadi cirri utama regionalism adalah menyatunya Arsitektur Tradisional dan Arsitektur Modern.

4. JENIS DAN TAKSONOMI REGIONALISME
Suha Ozkan membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu :
1. Concrete Regionalisme
Meliputi semua pendekatan kepada ekspresi daerah/regional dengan mencontoh kehebatannya, bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah tersebut.
Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun perlambang yang sesuai, bangunan tersebut akan lebih dapat diterima di dalam bentuknya yang baru dengan memperlihatkan nilai-nilai yang melekat pada bentuk aslinya. Hal lain yang penting adalah mempertahankan kenyamanan pada bangunan baru, ditunjang oleh kwalitas bangunan lama.
2. Abstract Regionalism
Hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur kwalitas abstrak bangunan, misalnya massa, solid dan void, proporsi, sense of space, pencahayaan, dan prinsip-prinsip struktur dalam bentuk yang diolah kembali.
Regionalisme, yang harus dilihat bukan sebagai suatu ragam atau gaya melainkan sebagai cara berfikir tentang arsitektur, tidaklah berjalur tunggal tetapi menyebar dalam berbagi jalur.

5. APLIKASI REGIONALISME DALAM DESAIN ARSITEKTUR
Timbul suatu pertanyaan, apa saja yang mungkin dikaitkan sehingga Arsitektur Masa Lampau (AML) dan Arsitektur Masa Kini (AMK) keduanya secara visual luluh menjadi satu kesatuan. Menurut Wondoamiseno, kemungkinan-kemungkinan pengkaitan tersebut adalah :
a. Tempelan elemen AML pada AMK
b. Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK
c. Elemen fisik AML tidak terlihat jelas dalam AMK
d. Ujud AML mendominasi AMK
e. Ekspresi ujud AML menyatu di dalam AML
Untuk dapat mengatakan bahwa AML menyatu di dalam AMK, maka AML dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur. Apabila yang dimaksud menyatu secara visual, misalnya kwalitas abstrak bangunan yang berhubungan dengan perilaku manusia, maka secara penilaian dapat dengan menggunakan observasi langsung maupun tidak langsung.
Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama yaitu adanya :
a. Dominasi
Dominasi yaitu ada satu yang menguasai keseluruhan komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan menggunakan warna, material, maupun obyek-obyek pembentuk komposisi itu sendiri.
b. Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk, warna, tekstur, maupun proporsi. Di dalam pengulangan dapat dilakukan dengan berbagai irama atau repetisi agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
c. Kesinambungan dalam komposisi
Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya (imaginer) yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.

6. KESIMPULAN
Untuk dapat menghadirkan sisi regionalisme , khusunya abstract regionalism pada rancangannya, seorang arsitek harus mampu dan jeli menangkap celah dan sisi-sisi unsur lokal yang dapat dijadikan sebagai acuan konsep desain dan mentransformasikannya dengan mengadaptasikannya dengan arsitektur modern tanpa harus menempelkan elemen-elemen (nyata) dari unsur lokal tersebut.

Rumah Adat Hapo Bohe di Kab. Sigi Sulawesi Tengah

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk , stuktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun – temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktifitas kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Dalam Arsitektur taradisional Sulawesi Tengah dikenal beberapa jenis arsitektur yaitu : Rumah tempat tinggal, rumah ibadah, rumah tempat musyawarah, dan rumah tempat menyimpan ( lumbung ).
Rumah tempat tinggal terbagi lagi menjadi beberapa jenis, yakni rumah tempat tinggal raja ( Souraja, Banuambaso, Sapo Oge, Hapo Bohe, Banua Magau), rumah tempat tinggal bangsawan ( Kataba ) dan rumah tempat tinggal rakyat biasa ( Tinja Kanjai ).
Pada dasarnya Souraja, Banuambaso, Sapo Oge, Banua Magau adalah sama yakni rumah besar atau rumah raja. Namun, beda halnya dengan Hapo Bohe di Desa Vatunonju, Kab. Sigi Kota Palu. Walaupun bangunan ini juga merupakan rumah besar / rumah raja yang berlanggam Souraja namun terdapat pula perbedaan-perbedaan khususnya dari segi bentuknya. Untuk itu perlu melakukan telaah yang lebih lanjut guna mendapatkan persamaan dan perbedaan tersebut dengan mengacu pada Souraja di Kec. Lere Kota Palu yang telah dijadikan sebagai rumah adat Sulawesi Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu Apasajakah persamaan dan perbedaan bangunan Hapo Bohe yang berada di Desa Vatunonju dengan Souraja di Kel. Lere Kota Palu yang dijadikan sebagai objek pembandingnya, bila ditinjau dari bentuknya.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka tujuan dalam penelitian ini adalah menelaah arsitektur berlanggam Souraja ( Hapo Bohe ) di Desa Vatunonju tinjauan khusus pada bentuk .
1.4 Sasaran Penelitian
Sasaran yang diharapkan dapat dicapai yaitu mendapatkan hasil Identifikasi bentuk arsitektur Hapo Bohe di Desa Vatunonju dan bentuk arsitektur Souraja di Kel. Lere sehingga dapat mengetahui perbedaan maupun persamaannya.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Arsitektur
Di antara demikian banyak pemahaman tentang arsitektur,arsitektur dikenal juga sebagai suatu tradisi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Tradisi sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Arsitektur dalam kehidupan sehari-hari atau architecture of the everyday itu sendiri dapat diartikan sebagai arsitektur yang familiar atau umum, tidak harus hebat, tetapi dapat memberikan arti yang sesungguhnya bagi pemiliknya. Wajah arsitektur selalu mengalami perubahan ada yang kita kenal dengan sebutan arsitektur tradisional, kontemporer, minimalis, modern, post modern, sampai klasik. Arsitektur dianggap sebagai pengetahuan kesenian, yaitu seni bangunan.
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (yang merupakan sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikataka sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya.
Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.
Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah matematika, sains, seni, teknologi, humaniora, politik, sejarah, filsafat, dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. Rasionalisme, empirisisme,fenomenologi strukturalisme, post-strukturalisme, dan dekonstruktivisme adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.
Definisi arsitektur berdasarkan analogi matematis, yakni arsitektur adalah permainan yang luar biasa, tepat dan dasyat dalam cahaya. Mata kita diciptakan untuk melihat bentuk-bentuk dalam cahaya dan bayangan mengungkapkan bentuk-bentuk ini : kubus, kerucut, bulatan, silinder, atau piramida adalah bentuk-bentuk primer utama yang diungkapkan cahaya hingga terlihat baik : citra benda-benda ini jelas dan nyata di dalam diri kita dan tanpa keragu-raguan. Karena alas an itulah bentuk-bentuk ini merupakan bentuk-bentuk yang indah, bentuk-bentuk yang paling indah. (Snyder,...)
2.2 Bentuk Dalam Arsitektur
Sebagai karya visual, bentuk memiliki peran yang menentukan dalam perancangan arsitektur,di manabentuk berkait erat dengan aspek yang mendasari keputusan dalam proses perancangan,yaitu citra.
Seperti menurut Ching (1996:6), bentuk adalah alat pokok bagi perancang, di mana dibutuhkan kepekaan untuk memilih, menguji dan memanipulasi unsur-unsur bentuk-bentuk dasar juga organisasi ruang dan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga berkait satu sama lain, bermakna, ditunjang pengorganisasian ruang, struktur, dan kesatuan yang tepat.
Sebagai unsur mendasar yang menentukan citra arsitektur, bentuk menjadi sangat penting untuk dipelajari sebagai usaha melatih kepekaan menentukan keputusan perancangan yang lebih tepat dan terarah. Uraian berikut akan menjelaskan pengertian dan peranan bentuk dalam perancangan arsitektur secara lebih terperinci.
2.2.1 Pengertian Bentuk Dalam Arsitektur
Beberapa pengertian bentuk dalam arsitektur :
Suatu perwujudan dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu proses pemikiran. Proses ini didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha pernyataan diri/ekspresi (Hugo Haring)
Wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang pengertiannya sama (Mies van der Rohe).
Suatu keseluruhan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara bersamaan, yang hasilnya merupakan susunan benda (Benyamin Handler). Hasil dipenuhinya syarat-syarat kokoh, guna, dan indah (Vitruvius).
2.2.2 Ciri-Ciri Visual Bentuk
Wujud, yaitu ciri-ciri pokok yang menunjukkan bentuk, yang merupakan hasil konfigurasi tertentu dari permukaan-permukaan dan sisi-sisi suatu bentuk. Dimensi, yaitu panjang, lebar dan tinggi. Dimensi-dimensi ini menentukan proporsinya, sedangkan skala ditentukan oleh perbandingan ukuran relatifnya terhadap bentuk- bentuk lain di sekelilingnya.
• Warna, yaitu corak, intensitas dan nada pada permukaan suatu bentuk, merupakan atribut yang paling menyolok yang membedakan suatu bentuk terhadap lingkungannya. Warna juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk.
• Tekstur, yaitu karakter permukaan suatu bentuk, tekstur mempengaruhi baik perasaan kita pada waktu menyentuh maupun kualitas pemantulan cahaya menimpa permukaan bentuk tersebut.
• Posisi, yaitu letak relatif suatu bentuk terhadap suatu lingkungan atau medan visual.
• Orientasi, yaitu posisi relatif suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin, atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya.
• Inersia Visual, yaitu derajat konsentrasi dan stabilitas suatu bentuk, inersia suatu bentuk tergantung pada geometri dan orientasi relatifnya terhadap bidang dasar dan garis pandangan kita.
Semua ciri-ciri visual bentuk di atas pada kenyataannya dipengaruhi oleh keadaan bagaimana kita memandangnya, seperti perspektif/sudut pandang kita, jarak kita terhadap bentuk tersebut, keadaan pencahayaan, lingkungan visual yang mengelilingi benda tersebut. (Ching, 1996).
Sedangkan (Eppi, 1986) menguraikan bahwa bentuk-bentuk arsitektur memiliki unsur-unsur : garis, lapisan, volume, tekstur dan warna. Kombinasi atau perpaduan dari kesemua unsur akan menghasilkan ekspresi bangunan. Ini menghasilkan suatu pengungkapan maksud dan tujuan bangunan secara menyeluruh.
Dengan melalui uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa kondisi fisik bentuk menentukan ekspresi bangunan, menghasilkan citra tertentu yang merupakan aspek filosofis desain yang menentukan kekhasan desain. Dengan demikian bentuk memiliki peran mendasar dalam setiap keputusan pada proses perancangan arsitektur.



2.2.3 Peranan Bentuk Dalam Perancangan Arsitektur
Bentuk berkait erat dengan beberapa syarat pertimbangan dalam perancangan arsitektur seperti fungsi, teknologi dan struktur, juga faktor politik, sosial, ekonomi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan bentuk sebagai terapan citra sebagai filosofi desain, yang didasari berbagai aspek pertimbangan perancangan tersebut.
(Eppi,1986) menguraikan, fungsi dalam arsitektur berkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia, dalam usahanya mempertahankan dan mengembangkan hidup di dalam alam semesta. Keragaman kegiatan yang terjadi menjadi titik tolak dalam perencanaan bangunan sehingga tercapai suatu bentuk arsitektur. Adanya fungsi menimbulkan bentuk, sehingga fungsi melupakan tujuan utama dari adanya bentuk. Fungsi merupakan pertimbangan utama bagi suatu perancangan bentuk. Suatu fungsi dapat menimbulkan beragam bentuk sesuai dengan keadaan lingkungan, yang disebut gaya. Perkembangan bentuk yang terjadi menghasilkan keragaman gaya dan ciri bentuk yang terjadi merupakan akibat pencerminan fungsi dan kegunaannya.
(Hendraningsih, 1985 ) menguraikan lebih lanjut keterkaitan bentuk dan fungsi :
• Dalam bahasa bentuk bagian-bagian bentuk dikombinasikan untuk menghasilkan ekspresi. Bentuk bangunan terdiri dari unsur-unsur bangunan. Bentuk bangunan atau bentuk-bentuk bagian-bagian manusia dapat dilihat sebagai kesatuan. Organisasi bentuk dijelaskan oleh bagian-bagiannya. Bagian menunjukkan bagian karakteristik yang merupakan bagian dari bentuk arsitektur. Bentuk harus berasal dari tuntutan pemakaiannya. Bentuk harus berhubungan dengan kondisi gunanya.
( Eppi, 1986) menjelaskan, untuk mendapatkan suatu bentuk yang mempunyai fungsi tertentu, diperlukan bahan-bahan bangunan sebagai sarana dasar bangunan. Bahan-bahan yang merupakan elemen bangunan ini disusun menjadi satu kesatuan.
Cara penggabungan ini disebut konstruksi. Bentuk bangunan yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh keadaan sekitarnya (angin, gempa bumi, dan sebagainya) sehingga pengetahuan tentang gaya pada struktur dan pemilihan sistem yang tepat menjadi faktor pertimbangan dalam menghasilkan fungsi yang diinginkan secara maksimal. Karakter bahan bangunan yang diterapkan pun menciptakan kesan tertentu pada bentuk bangunan. Oleh karena itu perlu kepekaan dalam memilih sistem struktur dan bahan yang sesuai dengan fungsi yang dikehendaki dan menghasilkan kesan yang diinginkan. Kondisi politik, ekonomi, sosial dan letak geografis pun berpengaruh pada bentuk bangunan. Kekuasaan politis yang birokratis dan otoriter dapat dinyatakan melalui bentuk - bentuk bangunan yang cenderung memberi jarak, berkesan adanya keinginan untuk dihormati, adanya pertahanan terhadap suatu kekuatan luar, misalnya dengan bentuk-bentuk benteng.
Kondisi ekonomi yang beragam memunculkan bentuk-bentuk bangunan yang didasari penggunaan bahan dan konstruksi yang berbeda-beda pula. Ditinjau dari kondisi sosial, adanya usaha untuk mempelajari keragaman tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, interaksi dengan Tuhan, manusia lain, kekuasaan, alam dan diri sendiri menjadi unsur dasar dalam penentuan suatu bentuk bangunan. Bentuk merupakan hasil tuntutan manusia. Sedangkan ditinjau dari letak geografis, pemecahan masalah terhadap kekuatan-kekuatan alam menghasilkan bentuk bangunan yang beragam. Kenyamanan dan keamanan kegiatan yang berlangsung berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut.
Bentuk berkait erat dengan simbol. Pada bangunan tertentu simbol menjadi pertimbangan utama dalam perancangan bentuk. Berkaitan dengan keterkaitan bentuk dengan simbol
(Hendraningsih, 1985) menguraikan bahwa penilaian suatu bentuk bangunan arsitektur bukan pada keberhasilan bentuk bangunan itu berfungsi, tetapi lebih ditekankan pada arti yang dapat ditangkap ketika bangunan tersebut dilihat dan diamati. Bangunan menyatakan simbol jika menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi dari keadaan bentuk fisiknya, mewujudkan sebuah prinsip pengakuan umum (universal validity). Arsitek menerapkan bentuk simbolis untuk menyajikan pengalaman keindahan yang mendalam sesuai dengan daya bercitranya. Ada beberapa jenis simbol yang dapat dikaitkan dengan peran simbol itu sendiri, kesan yang ditimbulkan oleh bentuk simbolis dan pesan yang langsung disampaikan oleh simbol, yang semuanya ditampilkan pada bentuk-bentuk tertentu :
• Simbol yang agak tersamar yang menyatakan peran dari suatu bentuk. Sebagai contoh bangunan pabrik dengan bentuk atap gergaji yang didasarkan pada penggambaran peran sebagai bentuk yang memasukkan cahaya ke dalam. Pemakaian bentuk yang berulang -ulang dengan tujuan sama pada pabrik menjadikan bentuk tersebut dikenal masyarakat sebagi bentuk simbolis pabrik.
• Simbol metaphor, yang didasari oleh pandangan tertentu terhadap bentuk bangunan, baik keseluruhan maupun per-bagian. Pandangan yang timbul didasari latar belakang tingkat kecerdasan dan pengalaman kelompok masyarakat tertentu dengan cara membandingkan bentuk bangunan yang diamati dengan bangunan atau benda lain. Ada pula simbol metaphor yang sengaja digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu membuat perbandingan dengan menimbulkan asosiasi yang tepat melalui penerapan simbol tertentu seperti penerapan bentuk donat pada toko kue donat. Simbol metaphor yang lebih rumit dan tidak langsung adalah dengan menerapkan simbol yang mewakili kegiatan dan pengertian fungsi, seperti penerapan bentuk burung pada bangunan lapangan udara.
• Simbol sebagai unsur pengenal (secara fungsional dan lambang), yaitu penerapan bentuk-bentuk yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai ciri fungsi suatu bangunan sehingga menjadi simbol bagi bangunan-bangunan tertentu, seperti bentuk kubah pada mesjid.
Hal-hal yang menentukan aspek bentuk seperti tersebut di atas memantapkan asumsi bahwa bentuk berikut karakter unsur-unsurnya sangat menentukan citra arsitektur yang menjadi dasar keputusan pada proses perancang. Dengan demikian pengetahuan akan pengertian dan peranan bentuk dalam perancangan arsitektur menjadi penting untuk dipahami, diterapkan dan dikembangkan.
Dari uraian di atas kita ketahui peranan bentuk yang menentukan citra arsitektur yang mendasari perancangan bangunan. Pemilihan unsur-unsur bentuk yang tepat beserta pertimbangan karakternya akan menghasilkan bentuk yang sesuai dengan citra yang diharapkan muncul. Hal ini menjadi sangat penting mengingat citra merupakan faktor penentu eksistensi desain yang mendasari kekhasan suatu desain, yang membedakan suatu karya arsitektur.
2.3 Arsitektur Tradisional Souraja
Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya yang tak ternilai adalah merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut dan revolusioner. Arsitektur tradisional masih seperti embrio sementara perkembangan dan perubahan dan berlansung sangat cepat. Untuk itu, perlunya peran aktif segenap pihak
Sementara dari pihak masyarakat sendiri perlu dipupuk rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap tradisi tata cara hidup dan budaya mereka masing-masing yang antara lain tercermin dalam khazanah warisan arsitektur daerahnya.
Souraja / Banua Oge

( sumber : souraja di kelurahan Lere, 23-06-2009)
Souraja terletak di kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Souraja dibangun atas prakarsa raja Yodjokodi pada sekitar abad 19 masehi. Memiliki fungsi sebagai tempat tinggal keluarga raja dan juga sebagai pusat pemerintahan kerajaan.
Souraja adalah bangunan berpanggung yang memakai konstruksi kayu dengan perpaduan arsitektur kaili dan bugis. Luas keseluruhan adalah 32×11.5 m. tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan bagian dapur 8 buah.
Bagian induk terdiri dari empat bagian yaitu :
1. Gandaria ( serambi ) berfungsi sebagai ruang tunggu untuk tamu. Bagian depan terdapat anjungan tempat bertumpunya tangga yang diletakan diantara kiri dan kanan dalam posisi saling behadapan. Jumlah anak tangganya 9 buah.
2. Lonta Karavana (ruang depan ) berfungsi untuk menerima tamu kaum laki- laki dalam pelaksanaan upacara adat. Selain itu digunakan untuk tempat tidur laki - laki.
3. Lonta Tatangana ( ruang tengah ) berfungsi sebagai tempat musyawarah raja bersama dewan adat. Pada ruangan ini terdapat dua buah kamar tidur untuk raja.
4. Lonta Rarana ( ruang belakang ) bagian ini digunakan sebagai ruang makan keluarga raja, dan untuk menerima kerabat dekat. Terdapat kamar khusus untuk kaum wanita dan anak-anak gadis.
Ruang antara bangunan induk dan dapur, tidak memakai atap. Fungsinya untuk tempat istirahat. Dibagian lain terdapat sebuah kamar mandi/ wc dan gudang. Pada sisi kanannya terdapat sebuah tanggga.
Ruang dapur terdiri dari ruang makan dan masak.
Terdapat pula bangunan gampiri yang berukuran 3x6 m. gampiri berfungsi untuk menyimpan bahan pangan seperti padi dan jagung.
Beberapa persamaan antara bangunan souraja dengan bentuk rumah panggung di Sulawesi Selatan adalah :
1. Bumbungan atap dengan bentuk atap , hanya pada souraja dibuat bertingkat untuk ventilasi udara ke ruang loteng.
2. Tangga depan berjumlah dua buah yang diletakan pada kiri dan kanan dengan anak tangga selalu ganjil.
3. Tiang- tiang di tusuk dengan balok pipih.
Keunikan dari bangunan ini adalah kekuatan bangunan hanya bertumpu pada hubungan balok blandar dengan papan lantai kemudian tiang di tanam ke dalam tanah kurang lebih 1 m dan di ujung-ujungnya di tusuk dengan balok bersilang sebagai angkur.
Pola hias yang digunakan adalah pola hias sulur daun, tumpa, geometris, belah ketupat, tali dan kaligrafi.









BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut (Maman, 2002) penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Lokasi terletak di Kab.Sigi desa Vatunonju
Masalah dibatasi pada adanya persamaan ataupun perbedaan antara bentuk bangunan ini dengan menggunakan Souraja sebagai objek pembandingnya.

3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis dan sumber data yang digunakan adalah:
1. Data Primer merupakan data yang didapat dari sumber informan pertama yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti.
Data Ini diperoleh melalui wawancara dengan tokoh Konsultan Pemugaran Techno Arkeologi Desa Vatunonju yang bernama Bapak Idris.

Data primer ini berupa:
• catatan hasil wawancara
• hasil observasi ke lapangan secara langsung dalam bentuk pemotretan objek-objek yang dibutuhkan.

( sumber : dokumentasi Sapo Bohe di Desa Vatunonju)

2. Data Sekunder merupakan data primer yang sudah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram. Data ini digunakan untuk mendukung infomasi primer yang diperoleh baik dari dokumen, maupun dari observasi langsung ke lapangan .
Data sekunder tersebut antara lain berupa:
- literatur,dll

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data
Survei Lapangan dan wawancara. Kedua metode/teknik tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Survei lapangan yang dimaksud adalah meninjau langsung ke lapangan objek penelitian (HapoBohe di Desa Vatuonju) dengan melakukan pengukuran-pengukuran, pemotretan dll.
2. Wawancara (interviews)
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian, dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan seorang tokoh Konsultan Pemugaran Techno Arkeologi, Desa Vatunonju, yang bernama Bapak Idris.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan informasi, melalui wawancara, maupun observasi
langsung.
2. Reduksi. Langkah ini adalah untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian.
3. Penyajian. Setelah informasi dipilih maka disajikan bisa dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan. Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan melalui studi komperatif dengan menggunakan bangunan souraja di Kel. Lere sebagai objek pembandingnya.
4. Tahap akhir, adalah menarik kesimpulan.



















BAB IV
ANALISIS

BANGUNAN ARSITEKTUR BERLANGGAM SAOURAJA (HAPO BOHE)
DI DESA VATUNONJU KAB. SIGI

Sejarah Bangunan
Bangunan Berlanggam Souraja (Hapo Bohe)
Bangunan berlanggam souraja (Hapo Bohe) ini berada di Taman Vatunonju Purbakala. Informasi pertama 1898 oleh Dr. A.C. Kruyt dalam bukunya” Van Poso Naar Sigi en Lindoe ”.
Pemugaran pertama oleh proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Sulawesi Tengah, dan selesai di pugar : 1984. Hapo Bohe ini sudah mengalami perubahan bentuk setelah pemugaran.

Souraja / Banua Mbaso / Oge
Dibangun oleh : Raja Palu Jodjokodi, sekitar tahun 1892. Berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga raja, pusat pemerintahan.
Data arkeologi : Luas bangunan 32 x 11.5 m
Konstruksi : kayu besi, kayu daerah, 28 tiang induk dan gandaria, 8 tiang rumah dapur.
Bentuk : Rumah panggung bentuk pelana. Tangga depan dua buah dengan jumlah anak tangga ganjil. Gaya bangunan paduan gaya Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Laporan teknis pemugaran :
Pemugaran pertama oleh proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Sulawesi Tengah. Selesai di pugar tahun 1983. Bangunan Souraja yang telah dibudidayakan ini berorientasi ke timur tetapi pada awalnya Souraja ini berorientasi ke utara.
(Sumber : Souraja, 6/30/2009)


No.
Souraja
Deskripsi
Hapo Bohe
Analisis
1. _Orientasi_


• Souraja :
Berorientasi ke timur.
• Hapo Bohe :
Berorientasi ke Timur. _Orientasi_


Kedua bangunan ini memiliki kesamaan orientasi.
Perlu diketahui awalnya bangunan Souraja ini menghadap ke Utara (menghadap laut ). Sesuai dengan letaknya yang dekat dengan pantai.
Begitu pula dengan Hapo Bohe, bangunan ini juga pada awalnya menghadap ke utara namun alasannya berbeda dengan souraja karena bangunan ini terletak di dataran tinggi (jauh dari Laut ). Konon alasan mereka karena leluhur mereka datang dari utara.



2. _Warna_


• Souraja :
Bangunan ini berwarna kuning kecoklatan dan hijau

• Hapo Bohe:
Bangunan ini berwarna kuning untuk bagian dinding dan merah untuk atap. _Warna_


Adanya perbedaan warna antara kedua bangunan ini karena sudah menggunakan cat sebagai finishingnya. Tetapi awalnya bangunan ini memiliki kesamaan ciri dalam warna yakni tidak menggunakan cat atau pewarna bahan melainkan menggunakan warna alami bahan bangunan (warna alam).
3. _Tekstur_







• Souraja

• Hapo Bohe


Kedua bangunan ini bertekstur halus. _Tekstur_




Tekstur mempengaruhi perasaan waktu menyentuh maupun kualitas pemantulan cahaya yang menimpa permukaan bentuk. Kedua bangunan ini bertekstur halus sehingga perasaan yang ditimbulkan waktu menyentuh yakni perasaan lembut dan kualitas pemantulan cahaya yang cukup. Namun pada awalnya tekstur bangunan ( Hapo Bohe ) terdapat dua jenis tekstur yakni halus dan kasar. Tekstur kasar tercermin dari bahan bangunan yang digunakan pada atap dan dinding.
4. _Bahan_











• Souraja:
Landasan : Batu Kali
Tiang : Loanga / pareva (balok yang lebar dan panjang yang terbuat dari kambium batang kelapa atau dari kayu keras.
Dinding : Papan (dopi)
Tangga : Lembaran papan kayu yang keras, lebar dan tebal. Biasanya dari kayu ulin atau kayu bayam ( sopu / kayu ipi ).
Atap : Seng.

• Hapo Bohe :
Landasan : Batu kali
Tiang : Kayu Utuh (kayu nggoloe).
Dinding : Papan
Tangga : papan kayu yang keras
Atap seng _Bahan_


Kedua bangunan ini terdapat persamaan bahan namun pada awalnya terdapat perbedaan bahan yakni pada atap Hapo Bohe dulunya menggunakan daun silar / lanu sebagai penutup atap. Dan dindingnya menggunakan gaba-gaba. Faktor perubahan ini karena kualitas bahan yang menurun seiring dengan usia bangunan.
Dalam Pembangunannya kedua bangunan ini memiliki persamaan yakni bahan yang digunakan, disediakan oleh masyarakat sekitar.





5. _Konstruksi_

















• Souraja :
kayu dengan perpaduan arsitektur kaili dan bugis. tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan bagian dapur 8 buah. Kekuatan bangunan hanya bertumpu pada hubungan balok blandar dengan papan lantai kemudian tiang di tanam ke dalam tanah kurang lebih 1m dan di ujung-ujungnya di tusuk dengan balok bersilang sebagai angkur. Menggunakan Kuda-kuda atap pelana dari kayu. Dan tidak menggunakan paku (menggunakan pasak)



• Hapo Bohe:
Bangunan ini menggunakan pondasi batu kali, dan tidak menggunakan paku melainkan menggunakan pasak dalam menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menggunakan kuda-kuda atap pelana dari rangka kayu.
_Konstruksi_

















Terdapat perbedaan jenis pondasi yang digunakan. Namun pada awalnya kedua bangunan ini memiliki konstruksi yang sama yakni menggunakan batu kali/ semacamnya sebagai landasan/ pengalas tiang- tiangnya.
Untuk Stuktur atapnya : penutup atap dipikul oleh beberapa rangka kayu yang pada dasarnya berbentuk segi tiga. Kedua ujungnya menumpang di atas dinding papan. Segi tiga itulah yang dinamakan kuda-kuda atau spant.
6. _Ruang_

























• Souraja :
Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan Luas keseluruhan adalah 32×11.5 m. Ruangannya terdiri dari :
1. Palantara
2. Gandaria (serambi)
3. Lonta Karavana (ruang depan)
4. Lonta Tatangana (ruang tengah):
-rg. tengah
-dua kamar tidur
5. Lonta Rarana (ruang belakang):
- dapur :
- rg. masak
- rg. makan
7. Wc / kamar mandi
8. Gudang
9. Kolong
10. Rg. pada atap
11. Gampiri









• Hapo Bohe:
Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan Luas Keseluruhan
11 x 13 m.
Terdiri dari :
1. Teras Samping (Tambale ), Pelantara
2. Ruang tamu
3.Dua kamar tidur
4.Avu / dapur
5. Wc / kamar mandi
6.Kapeo / Kolong
7.Gampiri














_Ruang_




























Denah bangunan berbentuk persegi panjang. Setiap ruang memiliki fungsi masung-masing yaitu :
1. Sebagai rg. tunggu tamu (Gandaria)
2. Ruang untuk menerima tamu.
-(LontaKaravana)
- ( rg. tamu)
3. Ruang untuk tempat musyawarah raja bersama dewan adat.
-(LontaTatangana)
-(Rg. Tamu)
4.Ruang Untuk tidur.
- Kamar tidur
5. Ruang masak dan rg. makan.
- Dapur / Avu
6. Wc/ kamar mandi
7. Ruang untuk menyimpan.
- gudang
8. Ruang tempat sandaran tangga dan tempat cuci kaki, ruang tunggu para tamu.
- Palantara
- Tambale.
Perletakannya tergantung selera

keluarga ada yang meletakannya disamping seperti bangunan Hapo Bohe dan ada yang meletakannya di depan seperti bangunan Souraja.
9. Ruang Untuk Upacara dan menhakimi orang bersalah.
- kolong
- kapeo : kolong tempat diadakannya upacara Morego / menyambut pahlawan dari perang, pesta panen dan tempat menghakimi orang yang bersalah.
10. Ruang pada atap Souraja digunakan untuk sirkulasi udara tetapi pada Hapo Bohe digunakan untuk kamar gadis (Malige).
Pada bangunan Souraja Posisi dapur terpisa dari Lonta Rarana dan dihubungkan dengan jembatan (jambata) Sebagian besar kedua bangunan ini memiliki fungsi ruang yang sama dengan penyebutan dan penempatan ruang yang berbeda.
Kedua bangunan Terdapat gampiri yang memiliki fungsi yang sama yaitu tempat membicarakan adat-adat yang kecil, tempat istirahat dan tempat menyimpan hasil panen.
7. _Ornamen_




• Souraja :
Ornamen/ Pola hias yang digunakan adalah pola hias yang berbentuk sulur daun, tumpa, geometris, belah ketupat, tali dan kaligrafi.

• Hapo Bohe:
Tidak memiliki ornamen _Ornamen_






Pada Souraja, ornamennya terletak pada atap, dan dinding Palantara, gandaria dan kolong
Sedangkan pada Hapo Bohe yang sudah dibudidayakan ini tidak terdapat ornamen, tetapi pada awalnya Hapo Bohe ini memiliki ornamen yang terletak di ujung bumbungan atap,yang disebut Omba dengan menggunakan pola hias berbentuk sulur. Kedua bangunan ini memiliki kesamaan ornamen dan pola hiasnya.




8. _Pintu_



• Souraja:
Berbentuk Persegi panjang dengan dua daun pintu bertrap.
Terdiri dari tiga buah pintu pada bagian depan (pintu samping, pintu tengah dan pintu kamar) yang menghadap ke timur dengan fentilasi berbentuk persegi panjang sedang pada awalnya berbentuk setengah lingkaran.
• Hapo Bohe:
Berbentuk persegi panjang dengan satu daun pintu.
Terdiri dari dua jenis pintu (pintu utama dan pintu belakang) _Pintu_



Terdapat perbedaan jumlah dan jenis pintu. Pada Hapo bohe Tinggi pintu 170cm dengan lebar 90 cm, dan satu daun pintu,dengan kamar yang hanya dipisahkan oleh tirai.
Sedangkan pada Souraja memiliki dua daun pintu dan ukurannya lebih besar dibanding ukuran Hapo Bohe.









9.







_Jendela_



• Souraja:
Berbentuk persegi panjang dengan menggunakan dua buah daun pintu yang bertrap.
Terdapat tiga buah jendela disamping kanan kirinya,dan dua buah jendela di atap

• Hapo Bohe:
Berbentuk persegi panjang dengan menggunakan dua buah daun pintu. Terdapat dua buah jendela pada bagian depan dan kirinya serta tiga buah pada samping kanan bangunan. _Jendela_





Pada kedua bangunan ini terdapat perbedaan perletakan jendela,jumlah jendela yang digunakan, juga bentuk daun jendela. Jendela pada souraja lebih panjang dibandingkan pada Hapo Bohe. Dan daun jendela souraja bertrap sedangkan pada Hapobohe tidak bertrap.
10. _Tangga_



• Souraja :
Berbentuk persegi panjang dengan anak tangga yang selalu ganjil.
Memiliki duah buah anak tangga pada bagian depannya, yang saling berhadapan dan satu tangga disampingnya.

• Hapo Bohe:
Berbentuk persegi panjang dengan anak tangga yang selalu ganjil.
Bangunan Hapo Bohe Memiliki dua buah tangga yang saling sejajar di samping kanan bangunan dengan anak tangga ganjil. _Tangga_



Antara bangunan Souraja dan Hapo Bohe terdapat persamaan Bentuk tangga yakni Berbentuk persegi panjang dengan anak tangga yang selalu ganjil terdapat pula perbedaannya yakni pada perletakan tangga.
Awalnya Hapo Bohe ini memiliki dua tangga (oja) pada bagian depan menuju ke tambale. Dan sebuah tangga samping yang menghubungkan tambale ke pintu rg.tamu.

11. _Atap_





• Souraja:
Bumbungan atap dengan bentuk atap pelana, pada souraja dibuat bertingkat untuk ventilasi udara ke ruang loteng. Ornamen Pada Atap Berupa ukiran berbentuk sulur daun.

• Hapo Bohe
Bentuk atap segitiga pelana dan tidak terdapat ornamen pada atap.










Kedua atap ini memakai atap pelana tetapi pada atap souraj dibuat bertingkat untuk sirkulasi udara sedangkan pada bangunan Hapo Bohe tidak dibuat bertingkat.
Pada walanya bangunan Hapobohe ini memiliki ornamen pada atap yang mereka sebut omba dan memiliki pola hias berbentuk sulur daun.
12. _Dinding_



• Souraja & Hapo Bohe:
Berbentuk persegi panjang dengan dua jenis dinding yakni berdinding full dan berdinding setengah.
_Dinding_





Pada bagian dalam Hapo Bohe, khususnya pada rg. Kamar, tidak dipisahkan dengan dinding melainkan hanya menggunakan tirai.Sedangkan pada Souraja dipisahkan oleh dinding.






















BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Bangunan Souraja di Kec. Lere Kota Palu dan bangunan Hapo Bohe yang terletak di Desa Vatunonju Kab. Sigi memiliki persamaan dan perbedaan. Bangunan tradisional Hapo Bohe yang berlanggam souraja ini memiliki beberapa persamaan dan beberapa perbedaan yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Walaupun dari segi bentuk bangunan ini berbeda, namun pada intinya Hapo Bohe ini memiliki fungsi yang sama dengan Souraja.
5.2 Saran
Kepada pihak pemugaran diharapkan dalam pembangunan rumah tradisional (rumah adat) harus disesuaikan dengan bangunan aslinya,agar tidak mengubah citra bangunan, dan nilai bangunan itu sendiri.















DAFTAR PUSTAKA


Budiharjo,Eko,1982, Arsitektur Kota,______________
____________,2001, Arsitektur Tradisional Daerah Tradisional Sulawesi Tengah, Departemen PO. Project Design Pusat, Yogyakarta.
Widjil Pangarsa Galih,2006, Merah Putih Arsitektur Nusantara, Andi, Yogyakarta.

Website

www.google.com
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/estetika/Bab_6.pdf.
http://overload84.blogdetik.com/tag/arsitektur-bangunan/.


















LAMPIRAN







( Denah Hapo Bohe Sebelum pemugaran )





( Sapo Bohe Setelah Pemugaran )